Sunday 29 January 2012

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Pengertian dan Karakteristik Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Kurikulum menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai kurikulum yang digunakan di Indonesia saat ini adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. KTSP merupakan penyempurnaan sistem Pendidikan Nasional Indonesia yang telah ada yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), karena dianggap bahwa kurikulum KBK memiliki kekurangan yang menonjol. Perbedaan KTSP dengan KBK adalah terutama pada sifatnya yang desentralistik yang memberikan kepada lembaga di daerah untuk mengembangkan Kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Namun sebagai suatu kontrol terhadap Mutu pendidikan, dan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam diharuskan selalu mengacu pada Standar Nasional Pendidikan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangakan kurikulum.
Selanjutnya menurut BSNP (2007) KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota yang sekarang menjadi Kantor Kementerian Agama kabupaten/ Kota untuk pendidikan dasar dan Kantor Wilayah Provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan
berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP,serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.
Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh Dinas Pendidikan Provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP. Sebagai sebuah kurikulum KTSP memiliki Karakteristik sebagai berikut :
  1. Dilihat dari desainnya KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari; pertama struktur program KTSP yang memuat sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik. Setiap mata pelajaran yang harus dipelajari itu, selain sesuai dengan nama-nama disiplin ilmu, juga telah ditentukan jumlah jam pelajarannya, kedua kriteria keberhasilan KTSP lebih banyak diukur dari kemampuan siswa menguasai materi pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari sistem kelulusan yang ditentukan oleh standar minimal penguasaan isi pelajaran seperti yang diukur dari hasil ujian nasional. Soal-soal dalam UN itu lebih banyak bahkan seluruhnya menguji kemampuan kognitif siswa dalam setiap mata pelajaran. Walaupun dianjurkan kepada setiap guru menggunakan sistem penelitian proses misalnya dengan portofolio, namun pada akhirnya kelulusan siswa ditentukan oleh sejauh mana siswa menguasai materi pelajaran.
  2. KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip pembelajaran dalam KTSP yang menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari dan menumbuhkan sendiri materi pelajaran melalui berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan, misalnya melalui CTL, inkuiri, pembelajaran portofolio, dan lain sebagainya. Demikian juga secara tegas dalam struktur kurikulum terdapat komponen pengembangan diri yakni komponen kurikulum yang menekankan kepada aspek pengembangan minat dan bakat siswa.
  3. KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah. Hal ini tampak pada salah satu prinsip KTSP, yakni berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Maka KTSP adalah kurikulum yang dikembangkan oleh daerah. Bahkan, dengan program muatan lokalnya, KTSP didasarkan kepada keberagaman kondisi, sosial, budaya yang berbeda masing-masing daerahnya.
  4. KTSP merupakan kurikulum teknologi,. Hal ini dapat dilihat dari adanya standar kompetensi, kompetensi dasar yang kemudian dijabarkan pada indikator hasil belajar, yakni sejumlah perilaku yang terukur sebagai bahan penelitian. Wina Sanjaya (2008:130-131)
Dengan karakteristik tersebut, dapat dikatakan bahwa KTSP adalah kurikulum yang memuat semua unsur desain kurikulum. Meski demikian, walaupun desain kurikulum semua unsur desain mewarnai KTSP, akan tetapi desain KTSP sebagai desain kurikulum berorentasi pada pengembangan disiplin ilmu atau desain kurikulum subjek akademis tampak lebih dominan. Hal ini tampak jelas dari ketatnya pengaturan nama- nama disiplin ilmu serta kriteria keberhasilan setiap siswa dalam mempelajari kurikulum

Thursday 19 January 2012

Model Pengembangan Kurikulum

MODEL OLIVA

Oliva berpandangan bahwa model kurikulum harus bersifat simple, komprehensif dan sistematik. Pengembangan kurikulum menurut Oliva terdiri dari 12 komponen yang saling berkaitan, yang pokok-pokoknya digambarkan sebagai berikut :

12 Komponen yang harus dikembangkan adalah sebagai berikut :
  1. Perumusan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan, yang semuanya bersumber dari analisis kebutuhan siswa, dan analisis kebutuhan masyarakat,
  2. Analisis kebutuhan masyarakat di mana sekolah berada, kebutuhan siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan sekolah. Sumber kurikulum berasal dari komponen 1 dan 2 ini, komponen 1 berisi pernyataan-pernyataan yang bersifat umum dan sangat ideal, sedangkan komponen 2 mengarah kepada tujuan yang lebih khusus.
  3. Komponen ke-3 dan ke-4 berisi tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum yang didasarkan kepada kebutuhan yang ada pada komponen 1 dan 2
  4. Komponen ke-5 adalah bagaimana mengorganisasikan rancangan dan mengimplementasikan kurikulum
  5. Komponen ke-6 dan 7 mulai menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran
  6. Setelah menetapkan tujuan, selanjutnya menetapkan strategi pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan seperti yang terdapat pada komponen ke-8
  7. Komponen ke -9a adalah melakukan studi awal tentang kemungkinan strategi atau tehnik penilaian yang akan digunakan
  8. Selanjutnya diteruskan pada komponen ke-10 yaitu mengimplementasikan strategi pembelajaran.
  9. Setelah strategi diimplementasikan, kemudian kembali pada komponen ke-9 yaitu komponen ke-9b untuk menyempurnakan alat atau tehnik penilaian, dengan menerapkan komponen ke-9a kemudian ditambah atau direvisi setelah mendapatkan masukan dari implementasi kurikulum
  10. Dari penetapan alat dan tehnik penilaian itu, maka selanjutnya pada komponen ke-11 dan ke-12 dilakukan evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum
Oliva menyatakan bahwa model yang dikembangkan dapat digunakan dalam beberapa dimensi yaitu :
  1. Untuk penyempurnaan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus, misal penyempurnaan kurikulum atau dalam proses pembelajarannya.
  2. Untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program kurikulum
  3. Dalam engembangkan program pembelajaran secara khusus.

Sunday 15 January 2012

Model Pengembangan Kurikulum Hilda Taba

Model Hilda Taba
Model Taba berbeda dengan model Tyler, yaitu bahwa dalam model ini lebih menitikberatkan kepada bagaimana mengembangkan kurikulum sebagai suatu proses perbaikan dan penyempurnaan. Karena itu dikembangkan tahapan-tahapan dalam pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum biasanya dilakukan dengan metode deduktif, yaitu dimulai dari langkah penentuan prinsip-prinsip dan kebijakan dasar, merumuskan desain kurikulum, menyusun unit-unit kurikulum, dan mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Namun Hilda Taba tidak sependapat dengan metode tersebut, dengan alasan bahwa pengembangan kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum, sehingga Taba mengembangkan kuirkulum, berbalik, dengan metode induktif. Langkah-langkahnya sebagai berikut :

1. Menghasilkan unit-unit percobaan (pilot unit) melalui langkah-langkah :
  • Mendiagnosis kebutuhan, dengan menentukan kebutuhan-kebutuhan siswa melalui diagnosis tentang “gaps’, kekurangan (defeciences), dan perbedaan latar belakang siswa.
  • Memformulasikan tujuan,
  • Memilih isi, sesuai dengan tujuan yang dirumuskan, dan memperhatikan serta mempertimbangkan segi validitas dan kebermaknaan untuk siswa.
  • Mengorganisasi isi, yaitu menyusun urutan kurikulum sehingga tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum tersebut diberikan.
  • Memilih pengalaman belajar, untuk mecapai tujuan kurikulum
  • Mengorganisasi pengalaman belajar, dengan mengemas pengalaman-pengalaman belajar tersebut ke dalam paket-paket kegiatan. Di sini dianjurkan untuk mengajak siswa agar mereka memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan belajar.
  • Menentukan alat evaluasi serta prosedur yang harus dilakukan siswa, sehingga guru dapat menyeleksi berbagai tehnik yang dapat dilakukan untuk menilai prestasi siswa, berkaitan dengan pencapaian tujuan kurikulum.
  • Menguji keseimbangan isi kurikulum, untuk melihat kesesuaian antara isi, pengalaman belajar, dan tipe-tipe belajar siswa
b.Menguji coba coba unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangak menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya.

c.Merevisi dan mengonsolidasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba.

d.Mengembangkan keseluruhan kerangka kuirkulum

e.Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji, yaitu dengan menyiapkan guru-guru melalui penataran-penataran, seminar dll, dan menyiapkan fasilitas dan alat-alat sesuai dengan tuntutan kurikulum.

Model-Model Pengembangan Kurikulum

Model-Model Pengembangan Kurikulum

Menurut Good (1972) dan Travers (1973) model adalah abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau system dalam bentuk naratif, matematis, grafis, serta lambing-lambang lainnya. Model bukan realitas, melainkan sebuah representasi realitas yang dikembangkan dari keadaan. Model berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah berkomunikasi, atau sebagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan. Nadler (1988) menjelaskan manfaat model adalah sebagai berikut :
a. Model dapat menjelaskan beberapa aspek perilaku dan interaksi manusia
b. Model dapat mengintegrasikan seluruh pengetahuan hasil onservasi dan penelitian
c. Model dapat menyederhanakan suatu proses yang bersifat kompleks
d. Model dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan
Dalam pengembangan kurikulum dikenal beberapa model yang dapat digunakan :
1. Model Tyler


Gambar 1.
Model Tyler

Tyler mengenalkan model ini dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and Instruction. Dalam model Tyler ada empat hal yang dianggap fundamental untuk mengembangkan kurikulum :
A. Menentukan Tujuan
Dalam penyusunan kurikulum, perumusan tujuan merupakan langkah pertama dan utama yang harus dikerjakan, karena tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan. Untuk merumuskan tujuan, menurut Tyler mengambil sumber dari siswa, studi kehidupan masa kini, disiplin ilmu, filosofis, dan psikologi belajar.
Untuk merumuskan tujuan kurikulum sangat dipengaruhi oleh teori dan filsafat pendidikan serta model kurikulum yang dianut. Karena itu tentu terdapat perbedaan antara tujuan masing-masing model kurikulum, tetapi tujuan kurikulum apa pun bentuk dan modelnya pada dasarnya harus mempertimbangkan berbagai sumber untuk kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
B. Menentukan Pengalaman Belajar
Pengalaman belajar merupakan aktifitas anak didik dalam berinteraksi dengan lingkungan. Tyler menyatakan : “The term “Learning Experience” is not the same as the content with which acourse deals nor activities performed by the teacher. The term “learning experience” refers to the interaction between the learner and the external conditions in the environment to which he can react, learning takes place through the active behavior of the student; it is what he does that he learns not what the teacher does.” Pengalaman belajar menunjuk pada aktifitas siswa di dalam proses pembelajaran, sehingga pertanyaan yang diajukan adalah “apa yang akan atau telah dikerjakan siswa” bukan “apa yang akan atau telah diperbuat guru”. Untuk itu pemahaman terhadap terhadap minat siswa, maupun latar belakang siswa sangat diperlukan. Untuk menentukan pengalaman belajar ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan yaitu :
Pertama, pengalaman siswa harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai
Kedua, setiap pengalaman belajar harus memuaskan siswa
Ketiga, setiap rancangan pengalaman belajar sebaiknya melibatkan siswa
Keempat, mungkin dalam satu pengalaman belajar dapat mencapai tujuan yang berbeda.
Adapaun bentuk pengalaman belajar dapat berupa :
1.Pengalaman belajar untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa
2.Pengalaman belajar untuk membantu siswa dalam mengumpulkan sejumlah informasi
3.Pengalaman belajar untuk mengembangkan sikap sosial
4.Pengalaman belajar untuk membantu mengembangkan minat
C. Mengorganisasi Pengalaman Belajar
Pengorganisasian pengalaman belajar merupakan langkah yang penting karena dengan pengorganisasian yang jelas akan memberikan arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga menjadi pengalaman belajar yang nyata bagi siswa. Pengorganisasian ini dituangkan dalam bentuk unit mata pelajaran, maupun program. Ada dua jenis pengorganisasian :
Pertama, pengorganisasian secara vertikal, yaitu menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda. Misalnya materi IPS kelas 4 dan kelas 5.
Kedua, pengorganisasian secara horizontal, yaitu menguhubungkan pengalaman belajar antar bidang studi yang berbeda tetapi dalam jenjang yang sama, contoh : geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama.
Dalam pengorganisasian ini terdapat tiga prinsip yag harus diperhatikan :
1.Prinsip kontinuitas
a.Prinsip yang bersifat vertikal, yaitu bahwa pengalaman belajar yang diberikan harus memiliki kesinambungan yang diperlukan untuk pengembangan pengalaman belajar selanjutnya.
b.Prinsip bersifat horizontal, yaitu bahwa suatu pengalaman yang diberikan pada siswa harus memiliki fungsi dan bermanfaat untuk memperoleh pengalaman belajar dalam bidang lain.
2.Prinsip urutan isi, yaitu setiap pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa harus memerhatikan tingkat perkembangan siswa.
3.Prinsip integrasi
Pokok bahasan dalam suatu mata pelajaran satu dikaitkan dengan mata pelajaran yang lain sehingga terbentuk pemahaman yang terintegrasi (holistik), misalnya dalam pengalaman belajar bidang matematika dapat dikaitkan dengan mata pelajaran ekonomi.
D. Evaluasi
Evaluasi merupakan hal yang penting karena dengan evaluasi dapat ditentukan apakah kurikulum yang digunakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah atau belu. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan sehubungan dengan evaluasi :
Pertama , evaluasi harus menilai apakah telah terjadi perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan.
Kedua, evaluasi sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu waktu tertentu.
Penilaian dalam evaluasi semestinya harus dapat membandingkan antara penilian awal sebelum siswa melakukan suatu program dengan setelah siswa melakukan program tersebut, sehingga tampak perubahan tingkah laku yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan.
Ada dua fungsi evaluasi :
- Fungsi sumatif , yaitu Evaluasi digunakan untuk memperoleh data tentang ketercapaian tujuan oleh peserta didik.
- Fungsi formatif, yaitu evaluasi untuk melihat efektifitas proses pembelajaran

Wednesday 11 January 2012

Evaluasi Implementasi KTSP

Evaluasi Implementasi KTSP pada Aspek Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran di SMK
Oleh Sunarto Halim Untung

Guna mewujudkan kurikulum yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, mengantisipasi perkembangan jaman, serta memberikan guideline atau acuan bagi penyelenggaraan pembelajaran di satuan pendidikan maka sewajarnyalah bila kurikulum senantiasa direvisi. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) harus dikembangkan sesuai dengan satuan potensi/karakteristik daerah, karakteristik sosial budaya masyarakat setempat, serta peserta didik. Pola ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan kreativitas, objektivitas perencanaan pendidikan dan pembelajaran oleh guru. Kendati demikian implementasi KTSP masih banyak kendala diantaranya justru pada kompetensi guru. Timbul pertanyaan bagaimana mungkin KTSP berhasil diterapkan di sekolah jika para guru masih belum memahami konsep, substansi, dan mekanisme pelaksanaan KTSP. Jika masalah ini dibiarkan maka akan sia-sia apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dan penentu kebijakan pendidikan, sehingga dalam konteks ini perlu dipahami pentingnya sebuah kesiapan yang harus dimiliki guru.

Permasalahan di atas, diteliti melalui evaluasi implementasi KTSP pada aspek kompetensi pengelolaan pembelajaran dengan model perbandingan antara standar evaluasi dengan hasil observasi (standard vs observe). Subjek penelitian adalah guru Mata Diklat Teknik Gambar Mesin di SMKN 2 Bandung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian (33%) tingkat ketercapaian Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuat guru sesuai dengan rambu-rambu petunjuk penyusunan RPP KTSP di SMK. Pelaksanaan pembelajaran mencapai tingkat ketercapaian 52,371% sedangkan pengelolaan pembelajaran secara utuh mencapai ketercapaian 60,17.5%.

A. Pendahuluan

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan penyelenggaraan pendidikan dan sekaligus salah satu indikator mutu pendidikan. Indonesia tercatat lima kali merevisi kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Revisi kurikulum tersebut bertujuan untuk mewujudkan kurikulum yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, guna mengantisipasi perkembangan jaman, serta memberikan guideline atau acuan bagi penyelenggaraan pembelajaran di satuan pendidikan.

Kurikulum terbaru yang dikembangkan adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) suatu model pengelolaan kurikulum yang dirancang mengikuti potensi dan karakteristik daerah, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan diharapkan membuat guru semakin kreatif, karena mereka dituntut harus meren-

canakan sendiri materi pelajarannya untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Kurikulum yang selama ini dibuat dari pusat, menyebabkan kreatifitas guru kurang terpupuk tetapi dengan KTSP kreatifitas berkembang. Hanya saja sebagian besar guru tidak terbiasa untuk mengembangkan model– model kurikulum. Secara mandiri selama ini mereka diperintah untuk melaksanakan kewajiban yang sudah baku, yaitu kurikulum yang dibuat dari pusat (D.Zainal Mutaqin,2006).

Hambatan pelaksanaan KTSP di sekolah terletak pada tiga komponen yaitu unsur guru, unsur pengelolaan sekolah (kepala sekolah, komite sekolah, dan pelanggan pendidikan), dan birokrasi pendidikan. Untuk unsur guru, diperlukan beberapa kompetensi guru dulu memahami unsur keterlaksanaan KTSP. Unsur utama berkenaan dengan kompetensi pengelolaan pembelajaran. (D.Zainal Mutaqin,2006).

Guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar, bahkan sangat menentukan berhasil-tidaknya peserta didik dalam belajar. Pengembangan KTSP menuntut kreatifitas guru dalam membentuk kompetensi pribadi peserta didik. Guru perlu memperhatikan perbedaan individual peserta didik, agar KTSP dapat dikembangkan secara efektif, serta dapat meningkatkan kualitas pembelajaran (Mulyasa, 2007:164)

Implementasi KTSP masih diwarnai minimnya sosialisasi dan persiapan guru. Sementara itu, fakta di lapangan yang penulis peroleh sebagai gambaran awal dari penelitian ini adalah para guru memiliki pemahaman yang berbeda– beda tentang KTSP. Hal ini dikarenakan untuk diklat dan pelatihan hanya guru-guru tertentu yang mengikutinya, sehingga hanya sebagian guru saja yang memahami KTSP tersebut, selain itu banyak sekali guru senior yang menganggap bahwa KTSP tersebut tidak ada bedanya dengan sistem pengajaran yang terdahulu, mereka terbiasa dengan pola pengajaran yang umum dilakukan (menggunakan metoda ceramah dalam pencapaian informasi) dan enggan mengganti pola pengajaran tersebut, dikarenakan pola yang terdahulu dianggap telah berhasil. Berdasarkan fenomena tersebut, kemudian berkembang plesetan dikalangan guru; “Kurikulum Terserah Sekolah Panjenengan”. Misalnya, mereka bertanya bagaimana mungkin KTSP berhasil diterapkan di sekolah jika para guru masih juga mengalami kebingungan dalam menangkap konsep, substansi, dan mekanisme pelaksanaan KTSP. Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa pentingnya sebuah kesiapan yang harus dimiliki guru. Berdasarkan penelaahan permasalahan di atas, maka studi penelitian ini berupaya mendeskripsikan evaluasi implementasi KTSP di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Bandung sebagai basis nasional dalam implementasi KTSP. Penelaahan hanya dilakukan pada masalah yang berkaitan dengan unsur guru, dan dibatasi pula pada Kesiapan guru dalam pengelolaan pembelajaran yang terdiri dari: menyusun rencana, pelaksanaan, evaluasi dan melaksanakan tindak lanjut hasil pembelajaran

Pertanyaan penelitian diarahkan pada profil, khususnya implementasi KTSP pada aspek kompetensi pengelolaan pembelajaran mata diklat teknik gambar mesin di SMK. Apakah sesuai dengan kompetensi pengelolaan pembelajaran yang ditetapkan dalam rambu-rambu KTSP?

B. Landasan Teori

Kesiapan sangat penting untuk memulai suatu pekerjaan, karena dengan memiliki kesiapan pekerjaan, apapun akan dapat teratasi dan dikerjakan dengan lancar dan hasil yang baik.

Beberapa prinsip kesiapan menurut Slameto (1995:117), adalah sebagai berikut:

a. Semua aspek perkembangan ini berinteraksi (saling mempengaruhi)

b. Kematangan jasmani dan rohani adalah perlu untuk memperoleh manfaat dan pengalaman.

c. Pengalaman-pengalaman mempunyai pengaruh yang positif terhadap kesiapan.

d. Kesiapan dasar untuk kegiatan tertentu terbentuk dalam periode tertentu selama masa pembentukan dan masa perkembangan

Kesiapan guru dalam proses pembelajaran yang dilakukan sangat relevan dengan teori kematangan dan produktivitas pekerjaan dalam suatu organisasi. Heresy dan Banchard (Nono Caryono, 2005:17) mengemukakan konsep kematangan pekerja sebagai “ kemampuan dan kemauan (ability and willingness) orang–orang untuk memikul tanggung jawab untuk mengarahkan prilaku mereka sendiri”. Dalam hal ini, Hersey dan Blanchard mengatakan bahwa variabel – variabel kematangan itu hendaknya dipertimbangkan dalam kaitanya dengan tugas tertentu yang perlu dilakukan.

Berkaitan dengan kesiapan guru, maka seorang guru harus mengetahui tugas dan profil guru, peranan guru, kinerja guru, profesionallisme guru, standar pengembangan guru. Hal ini dimaksud agar setiap guru sebelum kelapangan melalui proses pembelajaran, dapat memiliki kesiapan pada kegiatan pembelajaran.

Sebagaimana diketahui bahwa proses pembelajaran dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peran dan kompetensi seorang guru. Konsekuensinya seorang guru harus mampu menyiapkan dan meningkatkan peran dan kompetensinya. Guru yang berkopeten akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal. Peran dan kompetensi guru dalam proses pemelajaran meliputi banyak hal. Antara lain guru sebagai demonstrator, pengelola kelas, mediator dan fasilitator, dan evaluator.

Kinerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan kerja (Balai Pustaka, 1985:503). Sedangkan menurut bernandi dan Russel dalam Febiyani (2003:22) menyatakan bahwa:

Kinerja adalah hasil dari fungsi suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu selama priode tertentu atau perwujutan dari hasil perpaduan yang sinergis dan akan terlihat dari produktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP diberlakukan di Indonesia mulai tahun ajaran 2006/2007, menggantikan kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi). KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. KTSP diamanatkan oleh Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nsional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. KTSP berlaku pada jenjang pendidikan dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama) dan menengah (Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan), dan disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan di sekolah dikembangkan dengan berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta paduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP, Zainal Mutaqin (2007). Dalam komponen KTSP meliputi :

1. Tujuan Pendidikan Sekolah

2. Struktur dan Muatan Kurikulum (mata pelajaran. Muatan lokal, pengembangan diri, beban belajar, ketuntasan belajar, kenaikan kelas dan kelulusan, penjurusan, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global).

3. Kalender pendidikan

4. Silabus dan RPP

(Sosialisasi dan Implementasi KTSP. Jakarta:Depdiknas, Januari 2007)

C. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode evaluasi implementasi yang dimaksudkan untuk mengetahui kesiapan guru dalam meimpelemtasikan KTSP di SMKN 2 Bandung. Subjek penelitian adalah Guru diklat pada mata diklat Teknik Gambar Mesin di SMKN 2 Bandung. Teknik Pengumpulan data yang dilakukan, yaitu: Studi lapangan (observasi), wawancara, dan studi dokumentasi.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, observasi yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, dan sebagainya. Analisis data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 1). Reduksi data; 2). Penyajian data; 3). Mengambil kesimpulan dan verifikasi.

Generalisasi diambil setelah fakta yang merupakan fokus permasalahan penelitian, teramati di lapangan. Dalam penelitian ini, fakta-fakta yang terjadi di lapangan tentang implementasi/ pelaksanaan KTSP dibandingkan dengan standar implementasi/pelaksanaan KTSP.

D. Hasil Penelitian

Kompetensi pengelolaan pembelajaran aspek yang diteliti adalah: menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan melaksanakan proses pembelajaran. Pengumpulan data dilakukan dalam bentuk analisis dokumen RPP, wawancara, dan observasi langsung dengan responden. Analisis dokumen RPP digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Komponen RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metoda pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Kompetensi pengelolaan pembelajaran aspek awal yang diamati adalah susunan rencana pembelajaran (RPP), secara umum responden dalam menyusun RPP dilakukan secara tim. RPP yang dibuat kelompok guru dibandingkan dengan rambu-rambu petunjuk penyusunan RPP yang terdapat pada dokumen KTSP atau dibandigkan standar aspek perencanaan pembelajaran menurut KTSP di SMK. Begitu pula untuk Pelaksanaan Pembelajaran, dan akhirnya untuk keseluruhan Pengelolaan Pembelajaran.

Hasil penelitian diperoleh Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat secara berkelompok dibandingkan dengan rambu-rambu petunjuk penyusunan RPP terdapat pada dokumen KTSP. Persentase pembuatan RPP berdasarkan observasi untuk responden adalah 33.3%. Responden dalam merumuskan tujuan pembelajaran hanya menggambarkan aspek psikomotor, tidak ada penjabaran kriteria kinerja, materi pembelajaran disusun bertahap berdasarkan tingkat kesukaran rendah ke tinggi tidak dirancang proporsional, tidak ada langkah-langkah pembelajaran (skenario), tidak dicantumkan penggunaan jenis media, dan tahap-tahap proses evaluasi tidak dijelaskan secara rinci dalam dokumen RPP. Hasil observasi susunan RPP, tim guru diklat gambar teknik belum sesuai dengan petunjuk dokumen KTSP.

Pelaksanaan pembelajaran, pengumpulan data dilakukan dalam bentuk observasi langsung dengan responden, diketahui bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran guru diklat gambar teknik melaksanakan tanpa skenario RPP. Prosentase Pelaksanaan pembelajaran yang dibuat responden diperoleh hasil 52,371%. Umumnya tidak membuat kaitan materi ajar sebelumnya dengan materi yang akan diajarkan. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh responden adalah metoda ceramah, peran serta peserta diklat masih kurang, mobilitas posisi responden kurang di dalam kelas, hanya sedikit siswa yang bertanya dan merespon proses pembelajaran kepada guru diklat. Responden lebih banyak berada di depan peserta didik. Persentase pelaksanaan pembelajaran tanpa skenario RPP untuk responden di lapangan dapat digambarkan pada diagram berikut:

Berdasarkan observasi susunan RPP dan observasi pelaksanaan pembelajaran, disimpulkan kompetensi pengelolaan pembelajaran memiliki nilai persentase 60,17.5%.

E. Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat kelompok guru dibandingkan dengan rambu-rambu petunjuk penyusunan RPP yang terdapat pada dokumen KTSP, diperoleh ketercapaian 33% dibandigkan standar aspek perencanaan pembelajaran menurut KTSP di SMK. Pelaksanaan pembelajaran diperoleh ketercapaian 52,371%. Sedangkan Pengelolaan pembelajaran secara utuh diperoleh ketercapaian 60,17.5%.

Daftar Pustaka

Arikunto, S.(1999) Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Depdiknas. (2007). Materi sosialisasi dan Pelatian Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP).Jakarta: Depdiknas.

________. (2007). Standar Kompetensi Guru. Jakarta: Depdiknas

Febiyani. (2003). Pengembangan Kualitas Kinerja Guru. Tesis Master pada FIP UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Hamalik, O. (1995). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, Lexy. J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Mulyasa, E.(2007) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Rosdakarya

Nasution, S.(1982).Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars.

Slameto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudjana, N. (1989). Penelitian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru

Sugiyono. (2007). Metoda Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Supriadi. (1998). Educational Leadership. Tersedia: hhtp://artikel.us/amhasan.html

Syah, M. (2006). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosdakarya

Zainal Mutaqin, D.(2006). Seminar Pelaksanaan KTSP Di Sekolah. Bandung: Depdiknas Kota bandung

Evaluasi Implementasi Kurikulum

Evaluasi Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Menengah Atas
Oleh Dr. H. Azis Mahfuddin, M.Pd.

Pengembangan kurikulum yang sejalan dengan sistem pendidikan nasional, kebutuhan dan kondisi riil perlu diupayakan secara terus menerus bagi terwujudnya sumber daya manusia yang handal. Digunakannya kurikulum 2006 (KTSP), merupakan upaya pembaharuan atau penyesuaian kurikulum yang didasarkan pada standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diharapkan sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Tujuan pendidikan pada KTSP pendidikan menengah diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut. Pada tataran implementasi kurikulum secara umum, implementasi KTSP meliputi pengembangan silabus dan RPP, pelaksanaan proses pembelajaran dan cara penilaiannya. Dalam konteks pelaksanaan kurikulum, hasil penilaian dapat diamati melalui indikator-indikator yang tercermin dalam rangkaian kegiatan pembelajaran, sebagai bentuk implementasi kurikulum. Untuk melihat sejauhmana keberhasilan dari implementasi kurikulum, sudah barang tentu membutuhkan waktu dan proses, karena hasil dari suatu proses pembelajaran merupakan rangkaian kegiatan yang terus menerus dan panjang.

A. Pendahuluan

Sebelum masuk pada persoalan pokok dari tulisan ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan sepintas mengenai pengertian kurikulum sebagai landasan untuk pembahasan selanjutnya. Pengertian kuri-kulum yang paling umum adalah seperangkat mata pelajaran yang ditetapkan untuk diajarkan di sekolah. Seringkali pula kurikulum diartikan sebagai materi atau bahan pelajaran dalam buku teks yang ditetapkan atau ditawarkan untuk diajarkan guru.

Pengertian kurikulum ini begitu banyak dianut oleh orang awam, bahkan oleh banyak pendidik, sehingga jika berbicara tentang kurikulum (termasuk pe-ngembangannya), mereka mengasosiasikannya dengan mata pelajaran atau materi pelajaran. Seiring dengan itu, pedoman tertulis tentang mata pelajaran itu biasa pula dianggap kurikulum. Definisi lain diajukan Beauchamp (1975) yang melihat kurikulum sebagai “document to be used as a point of departure in instructional planning”. Di samping itu, Taba (1962) melihat kurikulum sebagai “plan for learning”.

Konsep kurikulum sebagai materi pelajaran berkembang pada tahun dua puluhan sampai dengan awal tiga puluhan dengan munculnya tiga ketentuan, yaitu (1) kurikulum harus dilengkapi dengan pernyataan tentang objektif pengajaran dalam silabus, (2) silabus itu perlu diujicobakan di lapangan, dan (3) silabus itu perlu dievaluasi pelaksanaannya dan kemudian direvisi untuk perbaikan. Salah satu kelemahan dari konsep ini adalah belum kelihatan kaitan antar materi mata pelajaran dengan peserta didik. Konsep ini berkembang terus dengan terbitnya buku Caswell dan Campbell. Menurut Gress (1968) kedua pakar ini menemukan bahwa kesesuai-an antara kurikulum formal dengan implementasinya di sekolah sedikit sekali.

Oleh karena itu mereka mengajukan kurikulum be-rupa pengalaman (learning experiences) yang benar-benar dimiliki peserta didik sebagai hasil implementasi dari kurikulum tertulis tersebut. Sejalan dengan pikiran ini, Zais (1976) mengemukakan bahwa “kalau kita mengevaluasi kurikulum, kita tidak cukup hanya mengevaluasi doku-men kurikulum itu saja, tetapi lebih dari itu mengevaluasi pengetahuan, keterampilan, sikap yang dimiliki peserta didik sebagai hasil dari implementasi kurikulum tertulis itu”. Kurikulum sebagai pengalaman belajar yang dirancang sekolah (planned learning experiences), merupakan konsep kurikulum yang banyak dianut para pakar pendidikan. Sebagian ahli menganggap bahwa pengertian kurikulum di atas terlalu luas, dan ada pula yang menganggap terlalu sempit.

Terlepas dari adanya pro dan kontra mengenai berbagai konsep kurikulum yang dipaparkan para pakar tersebut di atas, yang paling penting adalah bahwa pengalaman belajar peserta didik merupakan sesuatu yang dianggap paling relevan. Sebab konsep ini merupakan hasil langsung dari implementasi kurikulum sekolah, dan merupakan keinginan yang akan dicapai negara kita saat ini (baik kurikulum 2004 yang telah lalu maupun kurikulum 2006 sekarang ini). Walaupun begitu, para peserta didik menyadari, bahwa peng-alaman yang diperolehnya di luar sekolah merupakan muatan yang tidak dapat diabaikan pada keberhasilan implementasi kurikulum formal. Kedua muatan kurikulum tersebut saling melengkapi dan saling menguatkan satu sama lain. Atas dasar inilah, mengapa selalu ada upaya perubahan dan penyempurnaan kuriku-lum kita.

Upaya itu patut dihargai, mengingat kondisi bangsa Indonesia saat ini sedang memasuki periode yang amat penting dalam rangkaian pembaharuan sistem pen-didikan nasional. Usaha keras perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas lu-lusan pada setiap jenjang pendidikan dengan mem-perhatikan masalah keter-kaitan dan kesepadanan. Untuk itu, diperlukan seperangkat kurikulum yang relevan dengan sistem pendidikan nasional dewasa ini.

Usaha untuk mengembang-kan atau menyesuaikan kurikulum yang relevan dengan sistem pendidikan nasional, perlu diupayakan secara terus menerus. Minimal ada tiga alasan pokok mengapa usaha itu perlu dilakukan terus, yakni 1) adanya perubahan paradigma baru pendidikan; 2) adanya perubahan sosial budaya; ekonomi dan politik akibat pengaruh globalisasi, dan 3) tuntutan terhadap peningkatan kualitas lulusan yang sangat diperlukan bagi terwujudnya sumber daya manusia yang handal.

B. Pembahasan

1. Konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

Dengan digunakannya kuri-kulum 2006 (KTSP), perubahan kurikulum 2004 ke 2006, merupakan upaya pembaharuan atau pe-nyesuaian kurikulum yang didasarkan pada standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diharapkan sejalan dengan kebutuhan masyarakat.

Lahirnya KTSP didasari oleh adanya Undang-undang Sisdiknas no. 20 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Disebutkan di dalamnya bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan rencana pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tersebut meliputi tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.

Pengembangan kurikulum dalam KTSP pada intinya mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar pendidikan nasional tersebut terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.

KTSP pada jenjang pendidikan menengah (SMA, MAN), disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan (SKL), serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tuju-annya adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pada Bab 11 Pasal 3 dijelaskan bahwa “Pendidik-an nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab”.

Mengacu pada undang-undang tersebut, KTSP dikembangkan berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) berpusat pada potensi, perkembangan, ke-butuhan, dan kepentingan peserta didik; 2) beragam dan terpadu; 3) tanggap terhadap perkembangan IPTEKS; 4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; 5) komprehensif dan ber-kesinambungan; 6) belajar sepanjang hayat (life long education); 7) seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Sedangkan komponen-kom-ponen KTSP meliputi: a) tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan; b) struktur dan muatan kurikulum; dan c) kalender pendidikan.

Khusus untuk KTSP tingkat pendidikan menengah (SMA), tujuan pendidikannya adalah meningkatkan ke-cerdasan, pengetahuan, ke-pribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan dapat mengikuti pendidikan lebih lanjut. Struktur dan muatan kurikulum mencakup se-jumlah kelompok mata pelajaran, yakni mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu penge-tahuan dan teknologi, estetika, dan mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan. Mata pelajaran beserta alokasi waktu berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam standar isi. Sementara muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah. Hal-hal lainnya berkenaan pula dengan kegiatan pengembangan diri, peng-aturan beban belajar, ketuntasan belajar, kenaikan kelas dan kelulusan, penjurusan, pendidikan ke-cakapan hidup, dan pendidikan berbasis keung-gulan lokal dan global.

Pada tataran implementasi kurikulum, implementasi KTSP (kurikulum 2006) pada dasarnya adalah pengem-bangan silabus, pelaksanaan proses pembelajaran, sistem penilaiannya.

Silabus merupakan rencana dan pedoman untuk melaksanakan pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan me-nerapkan prinsip-prinsip pembelajaran dan standar proses pendidikan yang disarankan oleh Badan Nasional Sstandar Nasional (BNSP). Sedangkan sistem penilaian mencakup jenis ujian, bentuk soal dan pelaksanaannya. Tingkat keberhasilan yang dicapai peserta didik dilihat pada kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas yang harus dikuasai sesuai dengan standar kompetensi dan prosedur tertentu.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengem-bangkan silabus pembel-ajaran di SMA agar sejalan atau sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam menghadapi masa depannya. Materi, strategi, media dan evaluasi seperti apa yang dibutuhkan dalam im-plementasi KTSP.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam usaha mengimplementasikan kuri-kulum 2006 (KTSP) dengan berbagai kompetensi yang diharapkan.

Pertama, Dirjen Dikdasmen Dr. Indra Djati Sidi pernah menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam tulisannya yang berjudul “Memper-timbangkan Paradigma Baru Bagi Pendidikan”. Ia menyarankan untuk masa depan agar para pendidik, demi perubahan dan tantangan zaman hendaknya dapat mengubah pola pikir dan perilaku dari mengajar (teaching) menjadi belajar (learning) yang berarti proses pendidikan yang dijalankan selama ini berubah menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan peserta didik”.

Kedua, apa yang disampaikan oleh komisi internasional tentang pendidikan abad XXI yang dilaporkan pada UNESCO dengan topik “Belajar, Harta Karun di Dalamnya”. Menurut M. Atar Semi (2000) komisi ini menegaskan bahwa pen-didikan di masa yang akan datang harus dapat memampukan setiap orang menemukan, menggali, dan memperkaya potensi kreatif peserta didik untuk menyingkap harta karun yang ada dalam dirinya masing-masing.

Hal ini memberikan isyarat kepada kita bahwa untuk mengembangkan atau me-nyesuaikan kurikulum di masa depan, kita perlu melakukan perubahan arah pendidikan, yakni dari pendidikan sebagai suatu porses yang dihayati seseorang untuk meraih tujuan khusus (seperti memperoleh keterampilan untuk meningkatkan potensi ekonomis), ke arah pendidikan yang memfokus-kan pembangunan manusia seutuhnya.

Pendidikan yang menekankan pada belajar menjadi seseorang, misi utamanya adalah memberdayakan pe-serta didik untuk mengem-bangkan bakat atau talenta, dan mewujudkan potensi kreatif untuk menjalani kehidupan serta meraih tujuan pribadi masing-masing. Dalam hubungan itu, pengembangan atau pe-nyesuaian kurikulum hendak-lah dapat menghasilkan manusia berketrampilan, berpikir teratur, sistematis dan runtut, guna membentuk sifat kreatif dan mandiri, serta memiliki kepekaan sosial atau peduli lingkungan, menghargai perbedaan budaya, terampil dan tanggungjawab pribadi. Artinya kurikulum yang dikembangkan atau disesuai-kan itu harus dapat memberdayakan peserta didik untuk berpikir mandiri, kritis, dan dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampil-annya dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Ketiga, belajar (learning) mengimplisitkan bahwa pe-serta didik akan sangat berperan dalam mencapai kompentensi yang dituntut darinya. Ia harus berperan aktif, dan guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator, bukan lagi pemegang otoritas utama di kelas. Cara ini akan melahirkan peserta didik yang mandiri, kreatif, dan inovatif. ”Pencekokan” teori dan penghafalan sudah harus ditinggalkan, kalau mau mengutamakan learning on learn.

Keempat, sasaran akhir lain dari penyempurnaan kuri-kulum adalah timbulnya perkembangan pribadi pe-rserta didik. Perkembangan pribadi ini merupakan akumulasi dari seperangkat pengalaman belajar yang menyertai materi pelajaran. Implikasinya ialah bahwa materi pelajaran merupakan “means”, bukan “ends” untuk mencapai tujuan yang lebih jauh, yaitu pengalaman peserta didik. Ini berarti bahwa pada tahap perencanaan kurikulum, materi pelajaran didesain untuk menimbulkan peng-alaman belajar yang diinginkan.

Pada tahap pelaksanaan kurikulum, berbagai ragam kegiatan belajar juga didesain untuk menimbulkan peng-alaman belajar. Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas proses belajar pada diri siswa, pada tahap evaluasi dicek apakah semua pengalaman belajar yang direncanakan untuk peserta didik telah tercapai. Hal yang sering ditemukan di lapangan adalah bahwa pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, yang menjadi fokus perhatian adalah materi pengajaran. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pengembangan kurikulum adalah untuk membuat peserta didik menguasai materi pelajaran sebanyak-banyaknya, bukan membantu mentransformasikan materi pelajaran agar menjadi pengalaman belajar yang ingin dicapai.

Kelima, untuk meng-implementasikan kurikulum, diperlukan program pen-didikan. Program itu terdiri atas (1) program studi yang memuat budaya yang perlu diwariskan (cultural heritage) dan pembekalan pengetahuan (store of knowledge), (2) kegiatan belajar yang terdiri atas kegiatan-kegiatan peserta didik supaya apa yang mereka pelajari itu bermakna dan menjadi “milik” atau pengalaman mereka sendiri, dan (3) program bimbingan yang memberikan layanan kepada peserta didik agar tercapai kelancaran proses belajar-mengajar.

Keenam, setiap pengembang-an dan pengajaran harus berupaya peduli terhadap empat komponen kurikulum, yaitu (1) tujuan yang ingin dicapai, (2) materi dan pengalaman belajar yang perlu diberikan agar tujuan itu tercapai, 3) metodologi yang sesuai dengan kebutuhan, dan (4) evaluasi yang dapat mengukur hasil belajar siswa, berupa materi pelajaran dan pengalaman belajar. Oleh karena itu, setiap merancang pengajaran, keempat komponen tersebut perlu diperhatikan dengan baik dan seksama.

2. Bagaimana Mengevaluasi KTSP?

Untuk melangkah maju ke arah evaluasi yang lebih tepat, sebaiknya keadaan di lapangan disurvey terlebih dahulu hal-hal yang berhubungan dengan: 1) karakterisitik peserta didik dan macam keterampilan atau pengetahuan yang dibutuh-kan dan yang sudah dikuasai; 2) menyusun prototype silabus yang meliputi rincian materi pelajaran dan peng-gunaannya yang ingin diliput oleh silabus tersebut; kemudian 3) menyusun silabus materi pelajaran dan urutan tesnya beserta instrument yang akan digunakan.

Setelah itu, hendaknya dikembangkan prosedur kelas yang meliputi antara lain metode dan teknik mengajar, penyusunan satuan pelajaran dan rencana mengajar mingguan, kemudian ditutup dengan evaluasi terhadap siswa, program dan metode atau teknik mengajar untuk menjadi masukan perbaikan materi pelajaran, apakah cocok antara kemampuan dengan tujuan atau tidak? Bila tidak, maka dilakukan perbaikan atau penyesuaian materi atau metodologi seperlunya.

Langkah lain yang perlu diperhatikan dalam pengem-bangan kurikulum 2006 (KTSP) adalah rambu-rambu pembelajarannya. Misalnya pembelajaran ditujukan untuk apa, diarahkan ke mana, tema yang digunakan untuk mencapai sasarannya ba-gaimana, bobot pembelajaran seperti apa, dan bagaimana memilih gradasi (tingkatan) bahan agar sesuai dengan tema yang dipilih, dan lain sebagainya. Prinsip dasar dalam penentuan rambu-rambu pembelajaran, se-baiknya diatur sefleksibel mungkin sehingga memung-kinkan setiap peserta didik maupun guru sebagai pengelola pembelajaran bisa berkreativitas.

C. Penutup

Penilaian (evaluasi) terhadap kurikulum memang me-rupakan suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan data-data atau informasi yang diperoleh melalui hasil pengukuran, apakah sifatnya kuantitatif atau kualitatif. Maksud evaluasi adalah memberi “nilai” tentang kualitas sesuatu, tidak hanya sekedar mencari jawaban terhadap pertanyaan tentang apa; namun lebih diarahkan pada jawaban dari pertanyaan tentang “bagaimana atau seberapa jauh sesuatu proses atau hasil suatu program kurikulum (misalnya) dapat dicapai”.

Dalam konteks pelaksanaan kurikulum, hasil penilaian dapat diamati melalui indikator-indikator yang ter-cermin dalam rangkaian kegiatan pembelajaran, se-bagai bentuk implementasi kurikulum.

Untuk melihat sejauhmana keberhasilan dari implemen-tasi kurikulum, sudah barang tentu membutuhkan waktu dan proses, karena hasil dari suatu proses pembelajaran merupakan rangkaian ke-giatan yang terus menerus dan panjang. Karena itu evaluasi terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) seyogyanya di-lakukan setelah kurikulum tersebut berlangsung, paling tidak tiga sampai empat tahun. Dengan harapan semua satuan pendidikan sejak awal telah benar-benar mempersiapkannya.

Daftar Pustaka

Beuchamp, Georg A. , (1975), Curriculum Theory, Tihrd Edition, The Kagg Press, Illions.

Brown, James Dean, (1995), The Element of Language Curriculum, A Systematic Approach to Program Develop-ment, Heinle & Heinle Publishers, U.S.A.

Depdiknas, (2004), Kuri-kulum Berbasis Kom-petensi, Pendidikan Pra-sekolah, Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Hasan, S. Hamid, (1988), Evaluasi Kurikulum, Departemen Pendidikan dan Kebudayan Direk-torat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Miller, John P. & Seller , Wayne, (1985), Curri-culum, Perspective and Practice, Longman Inc. New York & London.

Schubert, William H., Curriculum; Perspective, Paradigm, and Possibi-lity, William H. Schubert, NewYork.

Syaodih, Nana Sukmadinata, (2002), Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.

Willes, John & Bondi, Joseph, (1989), Curriculum Develop-ment, A. Guide to Practice, Merrill Publishing Company, Columbus, Ohio.

Zais, Robert, S. (1976), Curriculum: Principles and Foundation, Harper & Row Publisher, New York

Evaluasi KTSP

EVALUASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

oleh Dr. Hermana Somantrie, MA.

http://hipkin.or.id/?cat=3

Prinsip utama evaluasi kurikulum adalah evaluasi kurikulum yang komprehensif, evaluasi yang sistematik mencakup seluruh aspek kurikulum, demikian pula dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Sudah banyak sekolah yang telah mengimplementasikan KTSP, baik yang dikembangkan secara mandiri maupun dengan cara mengadopsi atau mengadaptasi KTSP yang telah dibuat oleh pihak lainnya. Setelah melewati suatu periode waktu tertentu, KTSP perlu dievaluasi agar kekuatan dan kelemahannya dapat teridentifikasi. Hasil dari evaluasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan KTSP di masa yang datang atau sebagai informasi yang dapat digunakan bagi perumusan kebijakan pendidikan khususnya kurikulum.

A. Pendahuluan

Evaluasi terhadap kurikulum (curriculum evaluation) dilakukan untuk mengetahui sejauhmana kekuatan dan kelemahan suatu kurikulum. Di Amerika Serikat, misalnya, evaluasi kurikulum dianggap sebagai suatu aktivitas yang sangat penting karena hasilnya dapat digunakan bagi upaya peningkatan mutu dan pembaharuan dalam bidang pendidikan. Mengingat begitu pentingnya evaluasi kuri-kulum, The American Evaluation Association telah mengeluarkan satu set kode etik bagi para evaluator dalam bidang pendidikan yang dinamakan dengan “the Guiding Principles for Evaluators”.

Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: (1) Systematic Inquiry: Eva-luators conduct systematic, data based inquiries about whatever is being evaluated; (2) Competence: Evaluators provide competent per-formance to stakeholders; (3) Integrity/Honesty: Evaluators ensure the honesty and integrity of the entire evaluation process; (4) Respect for People: Evaluators respect the security, dignity and self-worth of the respondents, program participants, clients, and other stakeholders with whom they interact; and (5) Responsibilities for General and Public Welfare: Evaluators articulate and take into account the diversity of interests and values that may be related to the general and public welfare.

Dengan adanya kode etik semacam itu, evaluasi kurikulum yang dilakukan oleh para evaluator yang handal akan menghasilkan informasi kekuatan dan kelemahan kurikulum yang akurat dan obyektif.

B. Kebijakan dan Teori

1. Kebijakan Evaluasi KTSP

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang kita kenal sekarang ini dalam dunia pendidikan di Indonesia, adalah kurikulum operasional yang disusun dan diimplementasikan sendiri oleh satuan pendidikan atau sekolah. KTSP mulai diperkenalkan pada tahun 2006 seiring dengan pemberlakuan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang menjadi acuan utama dalam pengembangan KTSP.

Sejak saat itu sudah banyak sekolah yang telah mengimplementasikan KTSP, baik yang dikembangkan secara mandiri maupun dengan cara mengadopsi atau mengadaptasi KTSP yang telah dibuat oleh pihak lainnya. Setelah melewati suatu periode waktu tertentu, KTSP perlu dievaluasi agar kekuatan dan kelemahannya dapat teridentifikasi. Hasil dari evaluasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pe-nyempurnaan KTSP di masa yang datang atau sebagai informasi yang dapat digunakan bagi perumusan kebijakan pendidikan khususnya berkenaan dengan kurikulum.

Secara kebijakan sebagai-mana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, evaluasi kurikulum merupakan salah satu aktivitas evaluasi pendidikan karena kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan. Hal itu tampak dalam pernyataan Pasal 1 Ayat (21) yang menjelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.

Dalam pasal-pasal selanjut-nya tampak sangat jelas bahwa evaluasi kurikulum dianggap sebagai aktivitas evaluasi pendidikan yang sangat penting sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 57 dan Pasal 58. Selengkapnya, pernyataan pasal-pasal tersebut adalah: (a) Pasal 57 Ayat (1) menyatakan bahwa evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan; Ayat (2) menyatakan bahwa evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan; dan (b) Pasal 58 Ayat (1) menyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan; Ayat (2) menyatakan bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi kurikulum mempunyai makna sebagai: (1) unsur pengendali mutu, (2) bentuk akuntabilitas, (3) program evaluasi pendidikan, (4) pemantauan proses, kemajuan, dan perbaikan program pendidikan, (5) aktivitas yang dilakukan oleh lembaga yang mandiri, dan (6) program yang harus diselenggarakan secara berkala, menyeluruh, trans-paran, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

2. Teori Evaluasi Kurikulum

Prinsip utama dari evaluasi kurikulum yaitu bahwa untuk evaluasi kurikulum yang komprehensif harus secara sistematik mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan kurikulum. Sejumlah teoriti-kus menawarkan model-model untuk evaluasi kurikulum yang telah mereka kembangkan, antara lain sebagaimana yang diuraikan berikut ini.

a. Model Tyler

Model penilaian kurikulum yang dikembangkan oleh Tyler (1950) dinamakan dengan Goal Attainment Model. Langkah-langkah pendekatan penilaian Tyler adalah: (1) Mulai dengan penentuan tujuan penilaian. Tujuan ini harus menyatakan dengan jelas materi yang akan dinilai dalam kurikulum; (2) Memilih, mengubah, atau menyusun alat penilaian dan menguji obyektivitas, realibilitas, dan validitas alat tersebut; (3) Gunakan alat penilaian untuk memperoleh data; (4) Bandingkan data yang diperoleh dengan hasil penilaian sebelumnya yang memperoleh data; (5) Analisa data untuk menentukan kekuatan dan kelemahan dari kurikulum dan jelaskan alasan dari kekuatan dan kelemahan tersebut; dan (6) Gunakan data untuk membuat perubahan yang dianggap perlu dalam kurikulum.

b. Model Bloom, Hastings, dan Madaus

Bloom, Hastings, dan Madaus (1971) dalam penilaian kurikulum me-ngembangkan model pe-nilaian sumatif dan formatif. Perbedaan pokok diantaranya sumatif dan formatif adalah (1) tujuan, (2) waktu, dan (3) tingkat generalisasi. Penilaian formatif adalah penilaian terhadap kualitas kurikulum yang dilakukan setiap saat atau terus menerus selama proses pelaksanaan kurikulum berlangsung. Hasil penilaiannya digunakan sebagai data pelengkap dalam penilaian akhir keseluruhan pelaksanaan kurikulum. Sebaliknya, penilaian sumatif adalah penilaian menyeluruh yang dilakukan terhadap kualitas kurikulum pada akhir suatu periode pelaksanaan program kurikulum. Hasil penilaiannya digunakan sebagai pertimbangan akhir terhadap keberhasilan pelaksanaan kurikulum.

c. Model Stufflebeam

Stufflebeam (1971) dikenal dengan model penilaian yang ia namakan (1) context evaluation, (2) input evaluation, (3) process evaluation, and (4) product evaluation, atau lebih populer dengan singkatan CIPP Model Evaluation. Context evaluation adalah penilaian yang dilakukan terhadap segala hal yang menjadi precede atau antecedent (pendahulu) suatu program dan memiliki implikasi keberhasilan atau kegagalan dalam menjalankan program tersebut. Input evaluation adalah penilaian yang dilakukan terhadap segala hal yang mendukung ter-selenggaranya suatu program. Process evaluation adalah penilaian yang dilakukan terhadap aspek-aspek implementasi suatu program. Product evaluation adalah penilaian yang dilakukan terhadap hasil atau outcome atau capaian suatu program.

d. Model Stake

Stake (1967) mengembang-kan suatu model penilaian kurikulum dengan nama Continguency-Conngruence Model (CCM) atau sering juga disebut dengan Countenance Model. Perhatian utama dalam model Stake adalah hubungan antara tujuan penilaian dengan keputusan berikutnya berdasarkan sifat data yang dikumpulkan. Stake melihat adanya ketidaksesuaian antara harapan penilai dan guru. Menurut Stake penilaian yang dilakukan oleh guru tidak akan sama hasilnya dengan penilaian yang dilakukan oleh ahli penilaian.

Model CCM dimaksudkan guna memastikan bahwa semua data dikumpulkan dan diolah untuk melengkapi informasi yang dapat digunakan oleh pemakai data. Hal ini berarti bahwa penilai harus mengumpulkan data deskriptif yang lengkap tentang hasil belajar murid dan data pelaksanaan pengajaran, dan hubungan antara kedua faktor tersebut. Di samping itu juga, jugment data harus dikumpulkan. Stake mengartikan judgment data adalah data yang berasal dari pertimbangan berbagai ahli mata pelajaran dan kelompok masyarakat yang berkepen tingan dengan kurikulum.

e. Model Provus

Provus (1971; 1972) mengembangkan suatu pen-dekatan yang menggabung-kan penilaian dengan teori management. Model ini mencerminkan asumsi Provus bahwa penilaian kurikulum hendaknya memenuhi dua tujuan: (1) melengkapi suatu proses untuk pengembangan kurikulum; dan (2) melengkapi suatu cara penilaian manfaat suatu kurikulum.

Provus menamakan model penilaiannya dengan the discrepancy evaluation model. Model ini membedakan antara pe-laksanaan atau kenyataan dan patokan. Perbedaan tersebut oleh Provus dinamakan discrepancy (perbedaan antara dua hal yang harusnya sama). Provus menyarankan bahwa karakteristik model penilaian diskrepansi antara standar dan realitas ditandai dengan 5 karakteristik: (1) design, (2) installation, (3) process, (4) product, dan (4) cost.

C. Metodologi Evaluasi Kurikulum

Para evaluator harus secara hati-hati menentukan meto-dologi evaluasi kurikulum karena hal itu akan menentukan kualitas in-formasi yang diperlukan dari sasaran penilaian. Beberapa pertanyaan berikut ini perlu dipertimbangkan agar penilaian kurikulum meme-nuhi ketentuan ilmiah yang berlaku pada umumnya:

  • What is the evaluation design?
  • Why was this one chosen?
  • What are the limits of this design?
  • How were instruments selected?
  • Are they the most appropriate available for these students, this curriculum?
  • How can validity and reliability be demon-strated?
  • Were instruments developed by the staff?
  • What was the develop-ment process?
  • What was done to ensure the validity and reliability of the instruments?
  • Were instructors trained to administer, score, and interpret the results of the testing instruments?
  • How was this done?
  • What was the schedule for data collection?
  • When were instruments administered?
  • Were all students measured, or were sapling procedures used?
  • What other types of information were collected, by whom, and when?
  • What was the purpose of the various data collected (e.g., context indicators, implementation indicators)?

D. Ruang Lingkup Evaluasi Kurikulum

Cakupan evaluasi kurikulum sangat tergantung pada informasi yang diinginkan atau dihasilkan dari penyelenggaraan evaluasi. Oleh karena itu, cakupan dapat berskala luas atau berskala sempit. Namun demikian, cakupan minimal yang dapat dijadikan sebagai acuan adalah sebagaimana yang diuraikan di bawah ini.

  • Objectives—clarity; limits achievable and suitable for evaluation.
  • Contents—appropriate levels for the students; modern integration with other elements; achieving the objectives, infusing variety and information dissemination so that it is able to cope with the individual differences. Some elements used for evaluation of content include: probing, teachers’ reports, meetings, and views of inspectors, parents, as well as specialists.
  • Methods of teaching and educational aids—asking students and teachers about the efficiency appropriate to the methods through questionnaires, observations, surveys, studies, and other evaluating teaching aids.
  • Evaluating students—there are targeted classes to ensure achieving the objectives through essays, trends, achievement and attitude tests.
  • Evaluating teachers—teachers are evaluated with regard to their efficiency, extent of achieving and imple-menting the curriculum, weakness in scientific and methods of teaching aspects, knowledge and information. They are evaluated by: inspectors, reports, student opinions, self-evaluation, written tests to discover competencies.

E. Pemanfaatan Temuan Evaluasi Kurikulum

Temuan atau findings adalah jantungnya dari seluruh proses evaluasi kurikulum. Temuan akan sangat ditentukan oleh metodologi yang digunakan dalam evaluasi kurikulum. Jika instrumen yang digunakan relevan, sahih, dan valid, temuan tidak perlu diragukan lagi otentisitasnya dan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Temuan dapat dimanfaatkan antara lain untuk berikut ini.

  • To provide us with a database of information regarding pedagogical processes.
  • To provide us with information and to facilitate decision-making regarding the curriculum and its elements.
  • The outcomes of evaluation are the basis for developing and modifying the curriculum.
  • To discover ways of learning and finding the points of strength and weakness in the curriculum.
  • To show students a productive pathway to learning.
  • To discover the students’ areas of strengths and weaknesses.
  • To discover the aspects of teaching that require greater focus and efforts.
  • To share with teachers all they need to learn to teach students better.

F. Pelaporan Hasil Evaluasi

Ketika menulis laporan hasil evaluasi kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

  • Address all points specified in the funding agency’s guidelines,
  • Avoid using technical terms or jargon,
  • Write in the active voice,
  • Use a visually appealing format, including tables and figures,
  • Organize the findings around objectives or evaluation questions,
  • Be objective, reporting both positive and negative findings. Provide plausible explanations wherever possible,
  • Speculate about findings only when the data or reasoned arguments justify such conjectures,
  • Acknowledge the pitfalls encountered,
  • Write one report that will meet the needs of various audiences,
  • Solicit comments on the draft report from various audiences, and Present oral evaluation report(s) before finalizing the written document

Evaluasi Pengembangan Kurikulum

Evaluasi Pengembangan KTSP Suatu Kajian Konseptual
oleh Prof. Dr. Said Hamid Hasan, MA.

Evaluasi kurikulum KTSP diarahkan pada beberapa sasaran, diantaranya tingkat pemahaman ide dan prinsip pengembangan KTSP; keberhasilan pengembangan dokumen KTSP dan keberhasilan KTSP. Fokus evaluasi diarahkan pada ide,pengembangan dokumen, pelaksanaan KTSP dan hasil belajar.Untuk menentukan tingkat keberhasilan pengembangan KTSP secara komprehensif digunakan dua dimensi , yaitu dimensi nilai dan dimensi arti. Evaluasi dimensi nilai berkaitan dengan keunggulan intrinsik KTSP tanpa mempersoalkan lingkungan mana KTSP dilaksanakan, sedangkan dimensi arti berkaitan dengan nilai pengaruh KTSP terhadap lingkungan.

A. Pendahuluan

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 2003) maka kebijakan pendidikan terutama dalam pengembangan kuri-kulum di Indonesia mengalami perubahan mendasar. Perubahan men-dasar tersebut berupa wewenang mengembangkan, mengelola dan melaksanakan pendidikan dan kurikulum. Setelah UUSPN 2003 berlaku, wewenang mengem-bangkan, mengelola dan melaksanakan pendididkan tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat tetapi sudah berbagi dengan pemerintah daerah. Sistem desentralisasi pendidikan yang dibangun oleh UUSPN 2003 merupakan konsekuensi dari perubahan sistem pemerintahan dari peme-rintahan sentralistis ke otonomi daerah dan pendidikan adalah aspek pelayanan pemerintah pusat yang didelegasikan ke pemerintah daerah.

Dalam bidang kurikulum, UUSPN 2003 menetapkan adanya ketentuan yang menjadi wewenang peme-rintah pusat dan pemerintah daerah. Pasal 35 UUSPN 2003 menetapkan bahwa pemerintah pusat menentukan standar nasional yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Standar nasional diartikan sebagai suatu kualitas atau kondisi minimal yang harus ada. UUSPN 2003 menentapkan delapan standar nasional meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Pada saat sekarang Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional baru menetapkan dua standar nasional yaitu standar isi dan standar kompetensi lulusan. Standar lain belum ditentukan dan sewajarnya ditetapkan segera karena satu standar berkaitan dengan standar lainnya.

UUSPN 2003 pasal 36 menetapkan berbagai per-syaratan pengembangan kurikulum. Kurikulum yang dikembangkan harus me-ngacu kepada standar nasional dan diarahkan untuk mewujudkan tujuan pen-didikan nasional dan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski pun demikian, kurikulum yang dikembangkan harus memperhatikan kepentingan peserta didik, masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, agama, dan kehidupan bangsa dalam dunia internasional. Pasal 37 UUSPN 2003 menetapkan isi kurikulum yang harus ada pada setiap kurikulum yang dikembang-kan sekolah berbentuk berbagai label mata pelajaran.

Peraturan pelaksanaan UUSPN 2003 ditetapkan melalui peraturan pemerintah (PP) peraturan menteri (Permen). Pada tahun 2006, Mendiknas mengeluarkan Permen nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Permen nomor 23 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Sebelum kedua Permen tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 (PP 19 tahun 2005) tentang Badan Standar Nasional sebagai tindak lanjut pasal 35 ayat (4) UUSPN 2003. Pada saat sekarang baru satu PP dan tiga Permen tersebut yang dihasilkan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dalam pengembangan kuri-kulum di Indonesia.

B. Kajian Teori

1. Evaluasi Kurikulum

Banyak definisi mengenai evaluasi yang telah dikemukakan para akhli. Secara akademik dapat dikatakan bahwa filosofi keilmuan yang dianut seseorang berpengaruh besar terhadap pengertian evaluasi yang dikemukakan. Worthen dan Sanders (1987:23) menjelaskan masalah ini dengan mengatakan ”the image the evaluator holds of evaluation work: its responsibilities, duties, uniqueness, and similarities to related endeavors” yang membedakan definisi eva-luasi yang satu dengan lainnya.

Meskipun demikian, keanekaragaman definisi evaluasi tidak berarti bahwa tidak ada persamaan di antara definisi-definisi tersebut. Worthen dan Sanders (1987) menggunakan beberapa kriteria untuk membedakan dan melihat persamaan di antara definisi yang pernah dikemukakan para akhli. Antara lain mereka mengemukakan “diverse conceptions of educational evaluation”, “origins of alternative views of evaluation”, “philosophical and ideological differences”, “methodological backgrounds and preferences”, “different metaphors of evaluation”, “responding to different needs in education”, “practical considerations” (Worthen dan Sanders, 1987:41-59). Hal-hal tersebut menurut keduanya merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan.

Dalam naskah akademik ini, evaluasi diartikan sebagai usaha sistematis mengum-pulkan informasi mengenai suatu KTSP untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan penentuan nilai dan arti KTSP tersebut dalam suatu konteks tertentu. Adanya tambahan konteks ini sangat penting karena manfaat dan kebermaknaan suatu KTSP[1] selalu dibatasi oleh waktu, kepentingan peserta pendidik, masyarakat dan bangsa yang dilayani KTSP tersebut. Suatu KTSP yang sesuai untuk suatu konteks waktu tertentu belum tentu sesuai untuk waktu dan peserta yang lain walau pun diberlakuakn di tempat/ satuan pendidikan yang sama. Oleh karena itu suatu KTSP pendidikan termasuk kurikulum, selalu berubah sesuai dengan kemajuan zaman yang ditandai oleh kurun waktu dimana KTSP itu direncanakan.

KTSP juga terbatas oleh konteks ruang. Suatu yang dianggap baik untuk wilayah geografis tertentu belum tentu sesuai untuk wilayah geografis lainnya. Oleh karena itu dalam menentukan nilai dan arti suatu KTSP, evaluasi tidak dapat dilepaskan dari konteks ruang geografis mana KTSP itu dilaksanakan. Adanya konsep mengenai differensiasi dan multikultural memberikan petunjuk yang kuat bahwa evaluasi harus memperhatikan dimensi ruang sebagai suatu konteks.

Sejalan dengan konsep multikultural maka konteks lain yang berpengaruh terhadap kegiatan evaluasi adalah peserta didik. Suatu KTSP dikembangkan untuk peserta didik atau sekelompok peserta didik tertentu dalam lingkungan geografis, budaya, dan waktu tertentu. Oleh karenanya evaluasi harus memperhatikan karakteristik peserta didik ini sebagai suatu konteks penting dalam evaluasi. Evaluasi yang tidak memperhatikan konteks ini akan memberikan hasil kajian yang menyesatkan.

Konteks lain yang harus diperhatikan dalam evaluasi adalah filsafat dan teori yang digunakan. Ketika suatu KTSP menggunakan filsafat esensialis maka evaluasi harus memperhatikan karakteristik filosofi ini serta pemanfaatannya untuk jenjang pendidikan tertentu, satuan pendidikan tertentu, atau bahkan persyaratan tertentu yang menjadi ciri khas filsafat ini. Demikian pula ketika sebuah KTSP menggunakan filsafat lainnya. Ketika suatu KTSP menggunakan teori konstruksi sosial maka evaluasi proses belajar atau hasil belajar harus memberikan penilaian dan arti berdasarkan karakteristik konstruktivisme.

Pemberian nilai (merit) dalam suatu evaluasi berkenaan dengan keunggulan intrinsik KTSP tersebut tanpa mempersoalkan keterkaitan-nya dengan lingkungan mana KTSP tersebut dilaksanakan atau disebut juga dengan istilah ”context free evaluation” atau ”value of its own, implicit, inherent, independent of any possible applications” (Guba dan Lincoln, 1985:39). Ke-unggulan KTSP pendidikan tersebut dievaluasi ber-dasarkan kriteria yang dikembangkan dari KTSP itu sendiri. Seorang evaluator yang bekerja dengan rumusan ini akan menilai sebuah KTSP pendidikan dari keunggulan-keunggulan yang dimiliki secara teoritik dan KTSP praktik. Berbagai komponen KTSP pendidikan tersebut dinilai sebagai sesuatu yang harus dibandingkan dengan ke-unggulan filosofi dan teori yang digunakan.

Pengertian pemberian arti (worth)[2] dalam evaluasi lebih mengarah kepada makna atau nilai pengaruh yang diberikan suatu KTSP terhadap lingkungan. Ini merupakan evaluasi terhadap dampak dalam istilah yang dikemukakan oleh Cronbach. Guba dan Lincoln memberikan penekanan khusus pada arti sebagai karakteristik dari definisi evaluasi yang mereka kemukakan. Suatu KTSP yang dievaluasi, meritnya mungkin saja sangat baik. KTSP tersebut memiliki berbagai keunggulan dan kesesuaian filosofi, desain mau pun berbagai aspek lainnya. Permasalahan yang dikaji dalam worth (arti) ialah apakah dalam pelaksanaan KTSP tersebut bekerja sebaik yang direncanakan dan memberikan dampak yang diharapkan.

Selanjutnya , Guba dan Lincoln (1985:41-42) menulis tentang ”merit” (nilai) dan ”worth” (arti) dengan istilah evaluasi intrinsic dan evaluasi extrinsic. Mereka menulis:

In one sense, both merit and worth are variable. While merit is an estimate of intrinsic value and would therefore seem to be an immutable property of the entity whose merit is being assessed, it is clear that persons competent to judge merit may differ among themselves both in stating indicators of merit and in assessing the merit of any particular entity of those indicators. . . …………..

Similarly,one may ask how one determines characteristics of worth and then assess a particular entity on them. How does one tell whether a curriculum is appropriate to the learning ability of the youngsters exposed to it? How does one tell whether this particular language arts curriculum possesses worthwhile characteristics?

Bagi dunia pendidikan Indonesia yang menempatkan wewenang pengembangan program, kurikulum dan kebijakan di jenjang pemerintah pusat dan pemerintah daerah maka kajian nilai (merit) dan arti (worth) sangat diperlukan. Ketika suatu program, kurikulum dan kebijakan dikembangkan untuk satu satuan pendidikan bukan tidak mungkin program, kurikulum dan kebijakan tersebut mengambil contoh dan model dari yang dikembangkan di negara lain, di wilayah pendidikan lain, atau merupakan kesepakatan bersama pada tingkat kota atau kabupaten yang berbeda karakteristik masyarakatnya. Dalam konteks seperti ini maka program, kurikulum, dan kebijakan tadi tidak sepenuhnya memperhatikan karakteristik daerah dan dampak mungkin merupakan sesuatu yang menjadi masalah. Kalau pun program, kurikulum, dan kebijakan untuk satuan pendidikan tertentu sepenuhnya di-kembangkan oleh guru dan komite sekolah di suatu satuan pendidikan dan hasil evaluasi yang berkenaan dengan nilai menunjukkan bahwa KTSP tersebut sangat baik, evaluasi yang bersangkutan dengan worth (arti) tetap diperlukan. Evaluasi tetap harus mempertanyakan apakah KTSP yang telah dikembangkan dan di-laksanakan menunjukkan ada bukti-bukti empirik adanya dampak terhadap masyarakat dan bangsa.

Sebetulnya, istilah ”merit” dan ”worth” bukan istilah baru. Tulisan Stufflebeam dan kawan-kawan dalam buku mereka yang berjudul ”Educational Evaluation” telah menggunakan istilah tersebut. Tetapi mereka tidak memasukkan keduanya sebagai atribut penting suatu evaluasi. Scriven (1978) dalam tulisannya yang berjudul ”Merit vs. Value” telah pula menggunakan keduanya untuk evaluasi. Beberapa sarjana dalam bidang evaluasi tidak membahas keduanya secara mendalam tetapi lebih banyak menempatkan “merit” dan “worth” sebagai dimensi evaluasi yang saling melengkapi. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil evaluasi yang komprehensif, dimensi “merit” dan “worth” menjadi dimensi yang digunakan dalam menetapkan kebijakan evaluasi.

2. Ruang Lingkup Evaluasi Pengembangan KTSP

Prosedur dan proses pengembangan KTSP berbeda dari pengalaman Indonesia selama ini dalam mengembangkan kurikulum. Hal ini bukan disebabkan oleh penerapan model kurikulum berbasis kom-petensi tetapi lebih disebabkan penggunaan pendekatan standard dalam pendidikan (Burke, (Ed.) (1995); Tucker dan Codding (1998) dan oleh kewenangan satuan pendidikan dalam pengembangan KTSP. Jika pada masa sebelumnya satuan pendidikan menerima kurikulum lengkap dari pemerintah pusat pada saat sekarang sekolah harus melengkapi berbagai kom-ponen kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah pusat.

Berdasarkan diagram di atas terlihat bahwa kebijakan pengembangan kurikulum di Indonesia terdiri atas dua jenjang yaitu jenjang nasional dan jenjang satuan pendidikan. Kebijakan ini menggambarkan bahwa

Diagram berikut menggam-barkan keseluruhan proses pengembangan kurikulum.

Bagian-bagian penting yang secara nasional dianggap penting dan harus menjadi patokan pengembangan kurikulum di seluruh wilayah Indonesia, haruslah ditentukan secara nasional. Oleh karena itu dalam diagram tersebut dinyatakan bahwa analisis kebutuhan masyarakat untuk menentukan kualitas yang harus dikembangkan kurikulum dilakukan pada tingkat nasional. Hal ini bersesuaian dengan pengertian standar dan gerakan standar dalam literatur bahwa standar bukan kurikulum tetapi merupakan bagian penting yang menjadi pedoman pengembangan suatu kurikulum.

Proses pengembangan kurikulum menghasilkan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Kedua standar ini telah dinyatakan berlaku resmi melalui Peraturan Menteri Diknas yaitu Permen Diknas nomor 22 dan Permen Diknas nomor 23, masing-masing pada tahun 2005. Dalam tulisan ini pengembangan kurikulum pada tingkat nasional dianggap sebagai sesuatu yang di luar fokus kajian evaluasi kurikulum yang dikemukakan sekarang. Permasalahan yang terkait dengan ide pengembangan kurikulum yaitu apakah pokok-pokok pikiran yang dimaksudkan dalam SKL, SI, dan beberapa ketentuan pengembangan KTSP difahami oleh para pengembang KTSP.

Pada jenjang satuan pen-didikan proses pengembang-an dokumen KTSP dilakukan oleh setiap satuan pendidikan. Pengembangan pada jenjang ini adalah merupakan finalisasi ke-seluruhan kegiatan konstruksi dokumen kurikulum karena pada jenjang dan unit satuan pendidikan ini para pengembang kurikulum harus menempatkan berbagai komponen yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat ditambah dengan unsur yang harus dikembangkan oleh pengembang KTSP. Unsur-unsur tersebut adalah mengembangkan materi mata pelajaran muatan lokal dan kepribadian, ditambah ketetapan mengenai jumlah sks final untuk setiap mata pelajaran. Artinya, pada jenjang satuan pendidikan inilah suatu dokumen KTSP dinyatakan final. Dalam ketetapan yang dikeluarkan oleh BSNP dikatakan bahwa dokumen KTSP baru dianggap sah apabila ditandatangani oleh Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah.

Sesuai dengan ketetapan pada Permen nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut ini:

a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.

b. Beragam dan terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.

c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaat-kan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan me-libatkan pemangku kepentingan (stake-holders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan voka-sional merupakan kenis-cayaan.

e. Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara ber-kesinambungan antar semua jenjang pendidikan.

f. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan kepada proses pengem-bangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

g. Seimbang antara ke-pentingan nasional dan kepentingan daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepenting-an nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagaimana pemahaman dan kemampuan pengembang KTSP dalam menerapkan kedelapan prinsip ini harus menjadi bagian dari kajian evaluasi KTSP.

3. Tujuan Evaluasi Pengembangan KTSP

Tujuan evaluasi kurikulum KTSP adalah:

a. Menentukan tingkat pemahaman para pengembang KTSP mengenai ide kurikulum yang dikembangkan di tingkat nasional

b. Menentukan tingkat pemahaman dan ke-trampilan pengembang KTSP mengenai prinsip-prinsip pengembangan KTSP.

c. Menentukan tingkat keberhasilan pengembangan dokumen KTSP

d. Menentukan tingkat pelaksanaan KTSP

e. Menentukan tingkat keberhasilan KTSP

Kelima tujuan evaluasi yang dikemukakan di atas berbeda-beda satu sama lainnya sesuai dengan kepentingan dan waktu ketika seseorang/lembaga melakukan evaluasi. Kelima tujuan evaluasi yang dikemukakan di atas bukanlah merupakan keseluruhan yang harus digunakan dalam setiap kegiatan evaluasi. Kelima tujuan tersebut di atas dapat digunakan secara terpisah tergantung pada fokus kajian dan pemanfaatan hasil evaluasi (utility).

Tingkat pemahaman para pengembang KTSP mengenai ide kurikulum adalah sesuatu yang kritikal dalam menentukan keberhasilan pengembangan dokumen dan implementasi KTSP. Tanpa pemahaman yang baik mengenai ide kurikulum yang dikembangkan di tingkat nasional maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Sangat besar kemungkinan KTSP yang dikembangkan tidaklah sesuai dengan pemikiran para pengembang ide kurikulum. Pemahaman tersebut ditandai oleh pemahaman mengenai arti kurikulum berdasarkan kompetensi, Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI) bagi pengembangan KTSP.

Menentukan tingkat pemahaman dan ketrampilan yang dimiliki para pengembang KTSP mengenai prinsip-prinsip pengembangan KTSP adalah aspek kedua proses pengembangan KTSP yang kritikal. Sesuai dengan panduan yang diterbitkan BSNP maka KTSP haruslah dikembangkan berdasarkan delapan prinsip yaitu berpusat pada potensi dan kepentingan peserta didik, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, relevan dengan kebutuhan hidup, menyeluruh dan berkesinambungan, relajar sepanjang hayat, dan seimbang antara kepentingan nasional dan daerah. Para pengembang KTSP tidak saja harus memahami setiap prinsip tersebut serta implikasi terhadap pengembangan dokumen KTSP tetapi juga harus memiliki keterampilan menerapkan prinsip tersebut dalam mengembangkan dokumen KTSP dan implementasi KTSP.

Menentukan tingkat keber-hasilan pengembangan dokumen KTSP ádalah fokus penting berikutnya. Evaluasi KTSP harus dapat menentukan apakah dokumen KTSP yang telah dikembangkan statu satuan pendidikan (dalam hal ini sekolah) telah memenuhi berbagai patokan yang telah dipersyaratkan. Tentu saja dokumen KTSP tersebut ádalah hasil dari pekerjaan yang dilakukan para pengembang (guru) ber-dasarkan pedoman dan kemampuan yang mereka miliki. Meski pun demikian, sesuatu yang harus diingat bahwa berbagai faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan statu dokumen kurikulum tidak dapat diabaikan.

Dalam mengembangkan dokumen KTSP tersebut para pengembang harus pula mengembangkan materi muatan lokal yang harus dilemas menjadi mata pelajaran dan materi pendidikan kepribadian yang tidak dilemas dalam bentuk mata pelajaran. Evaluasi harus dapat mengungkapkan proses pengembangan muatan lokal dan kepribadian: bagaimana satuan pendidik mengidentikasi materi muatan lokal dan mengemasnya menjadi mata pelajaran serta kemudian memasukkannya dalam struktur kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah pusat.

Menetukan tingkat keber-hasilan pelaksanaan KTSP terdiri atas dua fokus. Fokus pertama berkenaan dengan pengembangan silabus oleh para guru. Fokus kedua ádalah pelaksanaan dalam proses pembelajaran di kelas. Pengembangan silabus dapat dikatakan sebagai suatu bagian dari implementasi KTSP tetapi dapat juga dipandang sebagai suatu bagian dari pengembangan dokumen KTSP. Dalam tulisan ini, pengembangan silabus dianggap sebagai bagian dari implementasi karena silabus dapat saja dilakukan oleh guru yang tidak terlibat dalam pengembangan KTSP. Banyak guru yang tidak diikutsertakan dalam pengembangan suatu do-kumen KTSP karena berbagai faktor seperti jumlah guru yang banyak dari suatu mata pelajaran, dana yang tersedia tidak mencukupi, per-timbangan agar kelas-kelas dapat terus berproses selama dokumen KTSP disusun, kepemimpinan kepala sekolah, dan sebagainya. Dalam pengembangan KTSP di banyak satuan pendidikan silabus dikembangkan lebih lanjut menjadi RPP tetapi ini bukanlah sesuatu yang menjadi tuntutan BSNP.

Proses pembelajaran di kelas merupakan fokus yang teramat penting. Posisi penting tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, proses pembelajaran di kelas merupakan kegiatan aktualisasi dari dokumen kurikulum atau kurikulum sebagai rencana. Dokemen kurikulum yang paling dekat dengan proses pelaksanaan ádalah yang dinamakan silabus. Bagaimana rencana yang telah dikembangkan dalam silabus tersebut dilaksanakan merupakan keputusan evaluasi yang sangat diperlukan dalam mengkaji keberhasilan pelaksanaan KTSP secara keseluruhan.

Kedua, posisi penting proses pembelajaran tersebut disebabkan oleh kedudukan proses sebagai pengalaman belajar nyata (observed curriculum) terhadap hasil belajar. Dalam situasi mana pun, hasil belajar yang dimiliki peserta didik adalah hasil dari pengalaman belajar yang diikutinya dan bukan pengaruh dari kurikulum sebagai dokumen. Berbagai faktor lain memang berpengaruh pula terhadap hasil belajar tetapi dalam konteks evaluasi kurikulum dan pengembangan kurikulum maka hasil belajar adalah pengaruh langsung dari implementasi kurikulum.

Implementasi memang suatu kegiatan yang sangat kompleks. Berbagai faktor yang muncul saat pelaksanaan proses pembelajaran berpengaruh terhadap pelaksanaan dari apa yang sudah dirancang dalam dokumen kurikulum. Faktor-faktor seperti kondisi pribadi guru, kondisi peserta didik, lingkungan kelas, suasana sekolah pada hari itu, ketersediaan perlengkapan dan sumber belajar akan memberikan pengaruhnya yang cukup menentukan dalam implementasi suatu dokumen kurikulum. Tentu saja berbagai faktor tersebut tidak boleh lepas dari fokus evaluasi dan diperhitungkan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan KTSP secara keseluruhan.

Penentuan tingkat keber-hasilan atau kegagalan KTSP merupakan suatu per-timbangan yang bersifat menyeluruh. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan mengenai hasil belajar yang diperoleh peserta didik, berbagai hasil kajian pada dimensi sosialisasi, dan proses kemudian dilakukan judgment berdasarkan kriteria yang ada untuk menentukan tingkat keberhasilan tersebut. Keberhasilan itu dapat saja bersifat keberhasilan dalam dimensi nilai (merit) tetapi juga dapat yang berkenaan dengan aspek arti (worth) suatu KTSP. Tujuan evaluasi dalam memberikan per-timbangan pada kedua dimensi tersebut berkaitan dengan pengertian evaluasi KTSP sebagaimana yang dikemukakan oleh Tyler (1949), Guba dan Lincoln (1985), Orient (1993), Longstreet dan Shane (1993).

4. Fokus Evaluasi

Berdasarkan ruang lingkup pengembangan KTSP dan tujuan evaluasi yang telah dikemukakan maka fokus evaluasi pengembangan KTSP adalah berkenaan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Ide kurikulum

2. Pengembangkan dokumen KTSP

3. Pelaksanaan KTSP

4. Hasil Belajar KTSP

Fokus evaluasi pada pemahaman ide kurikulum adalah sesuatu yang banyak menentukan keberhasilan pengembangan dokumen KTSP. Ide kurikulum yang dimaksudkan di sini adalah ide tentang pendekatan standar dan kompetensi yang digunakan. Standard-based curriculum dan competency-based curriculum memiliki ciri yang berbeda dari knowledge-base curriculum. Perbedaan yang mencolok adalah dari cara mengembangkan standar dan pengaruhnya terhadap kompetensi, pemilihan konten kurikulum, dan organisasi konten kurikulum. Dalam konteks ini maka pemahaman para pe-ngembang KTSP terhadap ide kurikulum dirinci dalam berbagai hal sebagai berikut:

Pemahaman mengenai standard-based curriculum

Pemahaman pengertian kompetensi dan karak-teristik kurikulum berbasis kompetensi

Pemahaman pengertian SKL dan kedudukan SKL dalam pengem-bangan KTSP

Pemahaman SI meliputi Kerangka dasar, Struktur kurikulum, Beban belajar, Kalender pendidikan, SK dan KD mata pelajaran

Kegiatan sosialisasi ide kurikulum

Evaluasi tentang pemahaman mengenai standard-based curriculum akan memberikan dasar bagi para pengembang kurikulum untuk memiliki frame pengembangan KTSP secara lebih baik terutama berkaitan dengan pengertian tujuan, konten, dan organisasi konten KTSP. Hal yang sama pentingnya dengan pemahaman tentang standar adalah pemahaman mengenai kompetensi dan karakteristik kompetensi serta kaitannya antara standar dengan kompetensi. Kedua pendekatan ini memiliki persamaan yang kuat dalam pengertian konten kurikulum dan organisasi konten kurikulum tetapi antara keduanya berbeda secara prinsipiil dalam tingkat abstraksi dan kedalaman. Oleh karena itu para pengembang KTSP haruslah memiliki pemahaman mengenai keterkaitan berbagai istilah yang digunakan seperti standar kompetensi lulusan, standar kompetensi, dan kompetensi dasar.

Evaluasi tentang Standar Isi diperlukan karena Standar Isi adalah frame yang harus digunakan dalam pe-ngembangan KTSP. Berbagai struktur dan ketentuan kurikulum terdapat dalam Standar Isi. Hal-hal yang terkait dengan penerapan sistem semester dan beban kerja yang diukur dan dikemas dalam satuan kredit semester merupakan hal-hal yang tak dapat dilepaskan sebagai aspek penting dari Standar Isi yang harus dikaji oleh evaluasi disamping aspek-aspek lain yang sudah disebutkan.

Berkenaan dengan sosialisasi maka fokus tersebut dapat dirinci dalam aspek-aspek waktu pelaksanaan, efektivitas pelaksanaan, dana, peserta, asesmen hasil, dan evaluasi program. Pemahaman dan kemampuan para pengembang KTSP dan guru dalam menerapkan KTSP tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan sosialisasi ide kurikulum. Keberhasilan pelaksanaan ide kurikulum sangat ditentukan oleh keberhasilan sosialisasi dan oleh karenanya kegiatan sosialisasi adalah bagian yang sangat kritikal dan tidak boleh dibabaikan oleh kegiatan evaluasi KTSP.

Fokus evaluasi mengenai pengembangan dokumen KTSP ditujukan untuk menentukan apakah dokumen KTSP sudah dikembangkan sesuai dengan ide kurikulum dan prinsip pengembangan kurikulum. Dokumen kurikulum KTSP adalah rencana satuan pendidikan tersebut untuk mengembang-kan pengalaman pendidikan bagi para peserta didik. Karakteristik dokumen KTSP yang memberikan ke-sempatan setiap satuan pendidikan mengembangkan pemikiran kependidikannya bahkan boleh berbeda dari satuan pendidikan lain didaerahnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Keluarbiasaan itu disebabkan karena para pemikir pendidikan di satuan pendidikan tersebut memiliki kebebasan yang lebih baik dibandingkan pada masa sebelumnya. Keluarbiasaan itu menantang para pemikir pendidikan di sebuah satuan pendidikan untuk memahami dan memiliki kemampuan mengembangkan sebuah dokumen kurikulum berdasarkan ide kurikulum yang ditetapkan pemerintah pusat. Ini adalah pengetahuan dan ketrampilan baru bagi banyak guru, jika tidak dapat dikatakan seluruh guru, dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu evaluasi kurikulum harus memberikan perhatian yang cukup dan luas terhadap proses dan hasil dari pengembangan dokumen KTSP.

Dalam fokus ini evaluasi pengembangan KTSP harus memperhatikan hal-hal berikut :

a) berbagai istilah yang terdapat dalam ide dan prinsip pengembangan KTSP,

b) pemahaman dan ke-trampilan mengembangkan berbagai komponen dokumen KTSP,

c) pemahaman dan ke-terampilan mengembangkan kompetensi dalam komponen tujuan, bahan, proses, dan hasil belajar,

d) pemahaman dan kemampuan mengembangkan konten

e) pemahaman dan ke-trampilan mengembangkan materi muatan lokal,

f) kemampuan mengevaluasi keterkaitan satu komponen dengan komponen lain

g) proses pengembangan dokumen KTSP,

h) dana yang tersedia dan digunakan

i) waktu yang digunakan untuk pengembangan

j) evaluasi proses pe-ngembangan dokumen

Evaluasi pelaksanaan KTSP adalah fokus evaluasi KTSP yang secara konseptual tidak terlalu berbeda dari evaluasi implementasi kurikulum pada umumnya. Perbedaan yang mendasar hanyalah pada jarak antara para pengembang KTSP dan para pelaksana yang sangat dekat bahkan dapat dikatakan tidak ada jarak, dibandingkan dengan pengembangan kurikulum sebelumnya yang berlaku di Indonesia. Para pengembang KTSP adalah guru dan pelaksana kurikulum adalah mereka juga dan sejawat mereka. Oleh karena itu komunikasi antara mereka yang terlibat dalam pengembangan dokumen KTSP dengan mereka yang tidak terlibat diharapkan sangat intensif dan lebih terbuka. Lagi pula, dengan kedudukan sebagai sejawat maka kesenjangan dalam bahasa ketika menyampaikan apa yang sudah dikemas dalam dokumen KTSP diharapkan tidak terjadi. Meski pun demikian tentu saja sosialiasi semacam ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan sosialisasi yang diperlukan antara para pemikir kurikulum tingkat nasional dengan para pengembang KTSP.

Aspek-aspek yang perlu mendapatkan perhatian evaluasi pelaksanaan KTSP adalah:

a) Sosialisasi sejawat

b) Pengembangan silabus

c) Bantuan Profesional

d) Dana pelaksanaan

e) Fasilitas Pembelajaran

f) Sumber Pembelajaran

g) Proses Pelaksanaan

h) Asesmen hasil belajar

Evaluasi mengenai hasil belajar KTSP berkenaan dengan hasil belajar peserta didik baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, sikap, kreativitas, dan kemampuan menerapkan apa yang sudah dipelajari di sekolah dalam kehidupan di masyarakat. Aspek pe-ngetahuan, sikap, ketrampilan (intelektual dan lainnya), kreativitas, dan kemampuan menerapkan hasil belajar di masyarakat merupakan evaluasi hasil belajar KTSP yang sangat serius. Hal ini dikatakan serius karena hasil ini akan digunakan untuk menentukan apakah ide kurikulum berbasis standar dan kompetensi berhasil dan jika berhasil pada tingkat mana dalam mengembangkan kemampuan yang diiden-tifikasi pada awal proses pengembangan kurikulum.

Suatu kenyataan yang harus diakui adalah bahwa SKL yang tercantum dalam Permen nomor 23 tahun 2005 adalah pengembangan lebih lanjut dari kompetensi yang dihasilkan ketika pemerintah mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi di awal tahun 2000 sampai tahun 2004. Oleh karena itu memang terjadi beberapa kelemahan konseptual dalam rumusan standar tersebut sehingga apabila ada kesulitan membedakan SKL tersebut dengan kompetensi maka hal tersebut bukan sesuatu yang men-cengangkan. Meski pun demikian, secara konseptual keberhasilan KTSP harus diukur dari SKL dan ukuran itu harus berkenaan dengan dua komponen konten yang ada pada rumusan standar yaitu substansif, sikap, dan keterampilan.

C. Penutup

Apa yang dipaparkan penulis dalam makalah ini adalah fokus-fokus yang dapat dikaji dalam suatu evaluasi KTSP. Fokus-fokus tersebut dikembangkan berdasarkan pendekatan fidelity sehingga tidak terlepas dari apa yang ada pada suatu KTSP. Meski pun demikian, banyak fokus lain yang tidak dibahas dalam makalah ini tetapi dapat ditambahkan oleh mereka yang tertarik untuk melakukan evaluasi pengembangan KTSP. Fokus tentang prosedur dan pengembangan SKL dan Standar Isi serta kaitannya dengan prosedur dan penerapan kualitas yang diperlukan masyarakat di masa depan tidak dibahas dan dapat dijadikan fokus evaluasi pengembangan KTSP bagi peminat. Fokus besar tentang pengembangan dokumen dan pelaksanaan KTSP oleh satuan pendidikan mengalahkan fokus lainnya.

Mengenai metodologi apalagi penerapan model evaluasi kurikulum tidak dibahas mengingat keterbatasan waktu seminar dan keluasan ruang lingkup tersebut. Meski pun demikian, dapat dikemukakan bahwa pendekatan metodologi yang dipikirkan adalah pendekatan kuantitatif ketika hasil evaluasi yang dilakukan dimaksudkan untuk menjadi masukan kebijakan pada tingkat kota/kabupaten atau propinsi dan apalagi untuk tingkat nasional. Sedangkan metodologi kualitatif terutama dalam bentuk studi kasus dianjurkan untuk kajian evaluasi yang hasilnya akan menjadi masukan bagi satuan pendidikan yang bersangkutan. Tentu saja, model studi kasus ganda (multiple case study) dapat digunakan jika masukan hasil evaluasi digunakan bagi para pengembang KTSP di beberapa sekolah yang dijadikan evaluan.

Daftar Pustaka

Botcheva, L., White, C.R., dan Huffman, L.C. (2002). Learning Culture and Outcomes Measure-ment Practice in Community Agencies. The American Journal of Evaluation, 23, 4: 421-434

Brecher, C., Silver, D., Searcy, C. and Weitzman, B.C. (2005). Following the Money: Using Expenditure Analysis as an Evaluation Tool. American Journal of Evaluation, 26, 2: 166-188

Burke, J. (Ed.) (1995). Competency Based Education and Training. London: The Falmer Press.

Carr, J.F. dan Harris, D.E. (2001). Suceeding with Standards: Linking Curriculum, Assessment, and Action Planning. Alexandria, VA: Asso-ciation for Supervision and Curriculum De-velopment.

Chen, Huey-Tsyth (2005). Practical Evaluation: Assessing and Improving Planning, Implementa-tion, and Effectiveness. Thousand Oaks: Sage Publications

Cinterfor (2001). Competen-cy-based Curriculum Design. Available at http://www.ilo.org, tanggal 24 Januari 2002.

Conley, D. (1999). Statewide Strategies for Implemen-ting Competency-based Admissions Standards. Denver: State Higher Education Executive Officers.

Constantino, T.E. dan Greene, J.C. (2003). Reflections on the Use of Narrative in Evaluation. The American Journal of Evaluation, 24, 1: 35-50

Crew, Jr. R.E. dan Anderson, M.R. (2003). Accountability and Performance in Charter Schools in Florida: A Theory-Based Evaluation. The American Journal of Evaluation, 24, 2: 189-212

Cronholm, S dan Goldkuhl, G. (2003). Strategies for Information Systems Evaluation – Six Generic Types. Electronic Journal of Information Systems Evaluation, Vol. 6, 2: 65-74. Academic Conferences Limited. Availabe at www.ejise.com

Daugherty, R. (1995). National Curriculum Assessment: Review of Policy 1987 – 1994. London: The Palmer Press

Davidson, E.J. (2005). Evaluation Methodology Basics: The Nuts and Bolts of Sound Evaluation. Thousand Oaks: Sage Publications

De Stefano,L. (1992). Evaluating Effectiveness: a Comparison of Federal Expectations and Local Capabilities for Evaluation Among Federally Funded Model Demonstration Evaluans. Educational Evaluation and Policy Analysis, 14, 2: 175-180.

Ellison, C.M. (2004). Talent Development Professi-onal Development Evaluation Model: A Paradigm Shift, dalam Co-Constructing a Contextually Responsive Evaluation Framework: The Talent Development Model of School Reform (Eds. Thomas, V.G. dan Stevens, F.I.). New Direction for Eva-luation., Number 101

Feller, I. (2002). Performance Measurement Redux. The American Journal of Evaluation, 23, 4: 435-452

Gall, M.D. (1981). Handbook for evaluating and selecting curriculum material. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Guba,E.G. dan Lincoln,Y.S. (1981). Effective evaluation: Improving the usefulness of evaluation results through responsive and naturalistic approach. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers

Harbour,J.L. (1997). The Basics of Performance Measurement. New York: Quality Resources.

Longstreet, W.S. dan H.G. Shane (1993). Curri-culum for a new millenium. Boston: Allyn and Bacon.

Madaus, G.F., Scriven, M.S. dan Stufflebeam, D.L. (Eds)(1983). Evaluation Models: Viewpoints on Educational and Human Services Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.

McCormick, R. dan James, M. (1983). Curriculum Evaluation in Schools. London: Croom Helm

McDavid, J.C. dan Hawthorn, L.R.L. (2006). Evaluan Evaluation and Performance Measurement: an Introduction to Practice. Thousand Oaks: Sage Publications

McLaughlin, M.W. dan Phillips, D.C. (1991). Evaluation and Education: at Quarter Century. Chicago, Illinois: National Society for the Study of Education.

McNeil, J.D. (1977), Curriculum: a compre-hensive introduction. Boston: Little, Brown and Company.

Melrose, M. (1996). Encouraging Transac-tional and Critical Models of Curriculum Evaluation. Different Approaches: Theory and Practice in Higher Education. Proceedings HERDSA Conference 1996. Perth, Western Australia, 8-12 July. Available at: http://www.herdsa.org.au/confs/1996/melrose.html

Neuber, K.A. dan kawan-kawan (1980). Needs Assessment: A Model for Community Planning. Sage Human Services Guides, Volume 14. Beverly Hills: Sage Publications

Print, M. (1989). Curriculum development and design. Wellington: Allen & Unwin.

Picciotto, R. (2003). Inter-national Trends and Development Evaluation: The Need for Ideas. The American Journal of Evaluation, 24, 2: 227-234

Raggart,P. dan G. Weiner (1985). Curriculum and assessment: some policy issues. Oxford: Pergamon Press.

Rossi,P.H. dan H.E. Freeman (1990). Evaluation: a Systematic Approach. Newbury Park: Sage Publications

Sanders, J.R. (chair)(1994), The Evaluan Evaluation Standards, 2nd Ed., Thousand Oaks: Sage Publications

Scriven, M. (1991). Evaluation Thesaurus, 4th Ed., Thousand Oaks: Sage Publications

Silverman, D. (1993). Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text and Interaction. London: Sage Publications

Skilbeck, M. (Ed.)(1984). Reading in school-based curriculum development. London: Harper and Row.

Storange, J.H. dan V.M.Helm (1992). A Perfomance Evaluation System for Professional Support Personnel. Educational Evaluation and Policy Analysis, 14, 2: 175-180.

Supovitz, J.A. dan Taylor, B.S. (2005). Systemic Education Evaluation: Evaluating the Impact of Sustemwide Reform in Education. American Journal of Evaluation, 26, 2: 204-230.

Tanner, D. dan L.N. Tanner (1980). Curriculum development. Theory into practice. New York: Macmillan Publishing House.

Torres, R.T., Preskill, H.S., dan Piontek, M.E. (1996). Evaluation Strategies for Commu-nicating and Reporting: Enhancing Learning in Organi-zations. Thousand Oaks: Sage Publications

Tucker, M.S. dan J.B. Codding (1998). Standards for Our Schools: How to Set Them, Measure Them, and Reach Them. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Warren, J.R., Jenkins, K.N. dan Kulick, R.B. (2006). High School Exit Examinations and State-Level Completion and GED Rates, 1975 Through 2002. Edu-cational Evaluation and Policy Analysis, 28, 2: 131-152

Warwick, D. (1975). Curriculum structure and design. London: University of London Press.

Worthen, B.R. dan Sanders, J.R. (1987). Educational Evaluation: Alternative Approaches and Prac-tical Guidelines. New York & London: Longman

Zais, R.S. (1976) Curriculum: principles and foundations. New York: Harper and Row Publishers.

[1] KTSP adalah sesuatu yang dievaluasi dapat berbentuk suatu program pendidikan, kurikulum, atau kebijakan pendidikan .

[2] Istilah lain yang digunakan untuk worth adalah value, pay-off, extrinsic, context determined value