oleh Prof. Dr. Said Hamid Hasan, MA.
Evaluasi kurikulum KTSP diarahkan pada beberapa sasaran, diantaranya tingkat pemahaman ide dan prinsip pengembangan KTSP; keberhasilan pengembangan dokumen KTSP dan keberhasilan KTSP. Fokus evaluasi diarahkan pada ide,pengembangan dokumen, pelaksanaan KTSP dan hasil belajar.Untuk menentukan tingkat keberhasilan pengembangan KTSP secara komprehensif digunakan dua dimensi , yaitu dimensi nilai dan dimensi arti. Evaluasi dimensi nilai berkaitan dengan keunggulan intrinsik KTSP tanpa mempersoalkan lingkungan mana KTSP dilaksanakan, sedangkan dimensi arti berkaitan dengan nilai pengaruh KTSP terhadap lingkungan.
A. Pendahuluan
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 2003) maka kebijakan pendidikan terutama dalam pengembangan kuri-kulum di Indonesia mengalami perubahan mendasar. Perubahan men-dasar tersebut berupa wewenang mengembangkan, mengelola dan melaksanakan pendidikan dan kurikulum. Setelah UUSPN 2003 berlaku, wewenang mengem-bangkan, mengelola dan melaksanakan pendididkan tidak lagi sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat tetapi sudah berbagi dengan pemerintah daerah. Sistem desentralisasi pendidikan yang dibangun oleh UUSPN 2003 merupakan konsekuensi dari perubahan sistem pemerintahan dari peme-rintahan sentralistis ke otonomi daerah dan pendidikan adalah aspek pelayanan pemerintah pusat yang didelegasikan ke pemerintah daerah.
Dalam bidang kurikulum, UUSPN 2003 menetapkan adanya ketentuan yang menjadi wewenang peme-rintah pusat dan pemerintah daerah. Pasal 35 UUSPN 2003 menetapkan bahwa pemerintah pusat menentukan standar nasional yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Standar nasional diartikan sebagai suatu kualitas atau kondisi minimal yang harus ada. UUSPN 2003 menentapkan delapan standar nasional meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Pada saat sekarang Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional baru menetapkan dua standar nasional yaitu standar isi dan standar kompetensi lulusan. Standar lain belum ditentukan dan sewajarnya ditetapkan segera karena satu standar berkaitan dengan standar lainnya.
UUSPN 2003 pasal 36 menetapkan berbagai per-syaratan pengembangan kurikulum. Kurikulum yang dikembangkan harus me-ngacu kepada standar nasional dan diarahkan untuk mewujudkan tujuan pen-didikan nasional dan dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski pun demikian, kurikulum yang dikembangkan harus memperhatikan kepentingan peserta didik, masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, agama, dan kehidupan bangsa dalam dunia internasional. Pasal 37 UUSPN 2003 menetapkan isi kurikulum yang harus ada pada setiap kurikulum yang dikembang-kan sekolah berbentuk berbagai label mata pelajaran.
Peraturan pelaksanaan UUSPN 2003 ditetapkan melalui peraturan pemerintah (PP) peraturan menteri (Permen). Pada tahun 2006, Mendiknas mengeluarkan Permen nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Permen nomor 23 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Sebelum kedua Permen tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 (PP 19 tahun 2005) tentang Badan Standar Nasional sebagai tindak lanjut pasal 35 ayat (4) UUSPN 2003. Pada saat sekarang baru satu PP dan tiga Permen tersebut yang dihasilkan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dalam pengembangan kuri-kulum di Indonesia.
B. Kajian Teori
1. Evaluasi Kurikulum
Banyak definisi mengenai evaluasi yang telah dikemukakan para akhli. Secara akademik dapat dikatakan bahwa filosofi keilmuan yang dianut seseorang berpengaruh besar terhadap pengertian evaluasi yang dikemukakan. Worthen dan Sanders (1987:23) menjelaskan masalah ini dengan mengatakan ”the image the evaluator holds of evaluation work: its responsibilities, duties, uniqueness, and similarities to related endeavors” yang membedakan definisi eva-luasi yang satu dengan lainnya.
Meskipun demikian, keanekaragaman definisi evaluasi tidak berarti bahwa tidak ada persamaan di antara definisi-definisi tersebut. Worthen dan Sanders (1987) menggunakan beberapa kriteria untuk membedakan dan melihat persamaan di antara definisi yang pernah dikemukakan para akhli. Antara lain mereka mengemukakan “diverse conceptions of educational evaluation”, “origins of alternative views of evaluation”, “philosophical and ideological differences”, “methodological backgrounds and preferences”, “different metaphors of evaluation”, “responding to different needs in education”, “practical considerations” (Worthen dan Sanders, 1987:41-59). Hal-hal tersebut menurut keduanya merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan.
Dalam naskah akademik ini, evaluasi diartikan sebagai usaha sistematis mengum-pulkan informasi mengenai suatu KTSP untuk digunakan sebagai dasar pertimbangan penentuan nilai dan arti KTSP tersebut dalam suatu konteks tertentu. Adanya tambahan konteks ini sangat penting karena manfaat dan kebermaknaan suatu KTSP[1] selalu dibatasi oleh waktu, kepentingan peserta pendidik, masyarakat dan bangsa yang dilayani KTSP tersebut. Suatu KTSP yang sesuai untuk suatu konteks waktu tertentu belum tentu sesuai untuk waktu dan peserta yang lain walau pun diberlakuakn di tempat/ satuan pendidikan yang sama. Oleh karena itu suatu KTSP pendidikan termasuk kurikulum, selalu berubah sesuai dengan kemajuan zaman yang ditandai oleh kurun waktu dimana KTSP itu direncanakan.
KTSP juga terbatas oleh konteks ruang. Suatu yang dianggap baik untuk wilayah geografis tertentu belum tentu sesuai untuk wilayah geografis lainnya. Oleh karena itu dalam menentukan nilai dan arti suatu KTSP, evaluasi tidak dapat dilepaskan dari konteks ruang geografis mana KTSP itu dilaksanakan. Adanya konsep mengenai differensiasi dan multikultural memberikan petunjuk yang kuat bahwa evaluasi harus memperhatikan dimensi ruang sebagai suatu konteks.
Sejalan dengan konsep multikultural maka konteks lain yang berpengaruh terhadap kegiatan evaluasi adalah peserta didik. Suatu KTSP dikembangkan untuk peserta didik atau sekelompok peserta didik tertentu dalam lingkungan geografis, budaya, dan waktu tertentu. Oleh karenanya evaluasi harus memperhatikan karakteristik peserta didik ini sebagai suatu konteks penting dalam evaluasi. Evaluasi yang tidak memperhatikan konteks ini akan memberikan hasil kajian yang menyesatkan.
Konteks lain yang harus diperhatikan dalam evaluasi adalah filsafat dan teori yang digunakan. Ketika suatu KTSP menggunakan filsafat esensialis maka evaluasi harus memperhatikan karakteristik filosofi ini serta pemanfaatannya untuk jenjang pendidikan tertentu, satuan pendidikan tertentu, atau bahkan persyaratan tertentu yang menjadi ciri khas filsafat ini. Demikian pula ketika sebuah KTSP menggunakan filsafat lainnya. Ketika suatu KTSP menggunakan teori konstruksi sosial maka evaluasi proses belajar atau hasil belajar harus memberikan penilaian dan arti berdasarkan karakteristik konstruktivisme.
Pemberian nilai (merit) dalam suatu evaluasi berkenaan dengan keunggulan intrinsik KTSP tersebut tanpa mempersoalkan keterkaitan-nya dengan lingkungan mana KTSP tersebut dilaksanakan atau disebut juga dengan istilah ”context free evaluation” atau ”value of its own, implicit, inherent, independent of any possible applications” (Guba dan Lincoln, 1985:39). Ke-unggulan KTSP pendidikan tersebut dievaluasi ber-dasarkan kriteria yang dikembangkan dari KTSP itu sendiri. Seorang evaluator yang bekerja dengan rumusan ini akan menilai sebuah KTSP pendidikan dari keunggulan-keunggulan yang dimiliki secara teoritik dan KTSP praktik. Berbagai komponen KTSP pendidikan tersebut dinilai sebagai sesuatu yang harus dibandingkan dengan ke-unggulan filosofi dan teori yang digunakan.
Pengertian pemberian arti (worth)[2] dalam evaluasi lebih mengarah kepada makna atau nilai pengaruh yang diberikan suatu KTSP terhadap lingkungan. Ini merupakan evaluasi terhadap dampak dalam istilah yang dikemukakan oleh Cronbach. Guba dan Lincoln memberikan penekanan khusus pada arti sebagai karakteristik dari definisi evaluasi yang mereka kemukakan. Suatu KTSP yang dievaluasi, meritnya mungkin saja sangat baik. KTSP tersebut memiliki berbagai keunggulan dan kesesuaian filosofi, desain mau pun berbagai aspek lainnya. Permasalahan yang dikaji dalam worth (arti) ialah apakah dalam pelaksanaan KTSP tersebut bekerja sebaik yang direncanakan dan memberikan dampak yang diharapkan.
Selanjutnya , Guba dan Lincoln (1985:41-42) menulis tentang ”merit” (nilai) dan ”worth” (arti) dengan istilah evaluasi intrinsic dan evaluasi extrinsic. Mereka menulis:
In one sense, both merit and worth are variable. While merit is an estimate of intrinsic value and would therefore seem to be an immutable property of the entity whose merit is being assessed, it is clear that persons competent to judge merit may differ among themselves both in stating indicators of merit and in assessing the merit of any particular entity of those indicators. . . …………..
Similarly,one may ask how one determines characteristics of worth and then assess a particular entity on them. How does one tell whether a curriculum is appropriate to the learning ability of the youngsters exposed to it? How does one tell whether this particular language arts curriculum possesses worthwhile characteristics?
Bagi dunia pendidikan Indonesia yang menempatkan wewenang pengembangan program, kurikulum dan kebijakan di jenjang pemerintah pusat dan pemerintah daerah maka kajian nilai (merit) dan arti (worth) sangat diperlukan. Ketika suatu program, kurikulum dan kebijakan dikembangkan untuk satu satuan pendidikan bukan tidak mungkin program, kurikulum dan kebijakan tersebut mengambil contoh dan model dari yang dikembangkan di negara lain, di wilayah pendidikan lain, atau merupakan kesepakatan bersama pada tingkat kota atau kabupaten yang berbeda karakteristik masyarakatnya. Dalam konteks seperti ini maka program, kurikulum, dan kebijakan tadi tidak sepenuhnya memperhatikan karakteristik daerah dan dampak mungkin merupakan sesuatu yang menjadi masalah. Kalau pun program, kurikulum, dan kebijakan untuk satuan pendidikan tertentu sepenuhnya di-kembangkan oleh guru dan komite sekolah di suatu satuan pendidikan dan hasil evaluasi yang berkenaan dengan nilai menunjukkan bahwa KTSP tersebut sangat baik, evaluasi yang bersangkutan dengan worth (arti) tetap diperlukan. Evaluasi tetap harus mempertanyakan apakah KTSP yang telah dikembangkan dan di-laksanakan menunjukkan ada bukti-bukti empirik adanya dampak terhadap masyarakat dan bangsa.
Sebetulnya, istilah ”merit” dan ”worth” bukan istilah baru. Tulisan Stufflebeam dan kawan-kawan dalam buku mereka yang berjudul ”Educational Evaluation” telah menggunakan istilah tersebut. Tetapi mereka tidak memasukkan keduanya sebagai atribut penting suatu evaluasi. Scriven (1978) dalam tulisannya yang berjudul ”Merit vs. Value” telah pula menggunakan keduanya untuk evaluasi. Beberapa sarjana dalam bidang evaluasi tidak membahas keduanya secara mendalam tetapi lebih banyak menempatkan “merit” dan “worth” sebagai dimensi evaluasi yang saling melengkapi. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil evaluasi yang komprehensif, dimensi “merit” dan “worth” menjadi dimensi yang digunakan dalam menetapkan kebijakan evaluasi.
2. Ruang Lingkup Evaluasi Pengembangan KTSP
Prosedur dan proses pengembangan KTSP berbeda dari pengalaman Indonesia selama ini dalam mengembangkan kurikulum. Hal ini bukan disebabkan oleh penerapan model kurikulum berbasis kom-petensi tetapi lebih disebabkan penggunaan pendekatan standard dalam pendidikan (Burke, (Ed.) (1995); Tucker dan Codding (1998) dan oleh kewenangan satuan pendidikan dalam pengembangan KTSP. Jika pada masa sebelumnya satuan pendidikan menerima kurikulum lengkap dari pemerintah pusat pada saat sekarang sekolah harus melengkapi berbagai kom-ponen kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah pusat.
Berdasarkan diagram di atas terlihat bahwa kebijakan pengembangan kurikulum di Indonesia terdiri atas dua jenjang yaitu jenjang nasional dan jenjang satuan pendidikan. Kebijakan ini menggambarkan bahwa
Diagram berikut menggam-barkan keseluruhan proses pengembangan kurikulum.
Bagian-bagian penting yang secara nasional dianggap penting dan harus menjadi patokan pengembangan kurikulum di seluruh wilayah Indonesia, haruslah ditentukan secara nasional. Oleh karena itu dalam diagram tersebut dinyatakan bahwa analisis kebutuhan masyarakat untuk menentukan kualitas yang harus dikembangkan kurikulum dilakukan pada tingkat nasional. Hal ini bersesuaian dengan pengertian standar dan gerakan standar dalam literatur bahwa standar bukan kurikulum tetapi merupakan bagian penting yang menjadi pedoman pengembangan suatu kurikulum.
Proses pengembangan kurikulum menghasilkan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi. Kedua standar ini telah dinyatakan berlaku resmi melalui Peraturan Menteri Diknas yaitu Permen Diknas nomor 22 dan Permen Diknas nomor 23, masing-masing pada tahun 2005. Dalam tulisan ini pengembangan kurikulum pada tingkat nasional dianggap sebagai sesuatu yang di luar fokus kajian evaluasi kurikulum yang dikemukakan sekarang. Permasalahan yang terkait dengan ide pengembangan kurikulum yaitu apakah pokok-pokok pikiran yang dimaksudkan dalam SKL, SI, dan beberapa ketentuan pengembangan KTSP difahami oleh para pengembang KTSP.
Pada jenjang satuan pen-didikan proses pengembang-an dokumen KTSP dilakukan oleh setiap satuan pendidikan. Pengembangan pada jenjang ini adalah merupakan finalisasi ke-seluruhan kegiatan konstruksi dokumen kurikulum karena pada jenjang dan unit satuan pendidikan ini para pengembang kurikulum harus menempatkan berbagai komponen yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat ditambah dengan unsur yang harus dikembangkan oleh pengembang KTSP. Unsur-unsur tersebut adalah mengembangkan materi mata pelajaran muatan lokal dan kepribadian, ditambah ketetapan mengenai jumlah sks final untuk setiap mata pelajaran. Artinya, pada jenjang satuan pendidikan inilah suatu dokumen KTSP dinyatakan final. Dalam ketetapan yang dikeluarkan oleh BSNP dikatakan bahwa dokumen KTSP baru dianggap sah apabila ditandatangani oleh Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah.
Sesuai dengan ketetapan pada Permen nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut ini:
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
b. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaat-kan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan me-libatkan pemangku kepentingan (stake-holders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan voka-sional merupakan kenis-cayaan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara ber-kesinambungan antar semua jenjang pendidikan.
f. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengem-bangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g. Seimbang antara ke-pentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepenting-an nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagaimana pemahaman dan kemampuan pengembang KTSP dalam menerapkan kedelapan prinsip ini harus menjadi bagian dari kajian evaluasi KTSP.
3. Tujuan Evaluasi Pengembangan KTSP
Tujuan evaluasi kurikulum KTSP adalah:
a. Menentukan tingkat pemahaman para pengembang KTSP mengenai ide kurikulum yang dikembangkan di tingkat nasional
b. Menentukan tingkat pemahaman dan ke-trampilan pengembang KTSP mengenai prinsip-prinsip pengembangan KTSP.
c. Menentukan tingkat keberhasilan pengembangan dokumen KTSP
d. Menentukan tingkat pelaksanaan KTSP
e. Menentukan tingkat keberhasilan KTSP
Kelima tujuan evaluasi yang dikemukakan di atas berbeda-beda satu sama lainnya sesuai dengan kepentingan dan waktu ketika seseorang/lembaga melakukan evaluasi. Kelima tujuan evaluasi yang dikemukakan di atas bukanlah merupakan keseluruhan yang harus digunakan dalam setiap kegiatan evaluasi. Kelima tujuan tersebut di atas dapat digunakan secara terpisah tergantung pada fokus kajian dan pemanfaatan hasil evaluasi (utility).
Tingkat pemahaman para pengembang KTSP mengenai ide kurikulum adalah sesuatu yang kritikal dalam menentukan keberhasilan pengembangan dokumen dan implementasi KTSP. Tanpa pemahaman yang baik mengenai ide kurikulum yang dikembangkan di tingkat nasional maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Sangat besar kemungkinan KTSP yang dikembangkan tidaklah sesuai dengan pemikiran para pengembang ide kurikulum. Pemahaman tersebut ditandai oleh pemahaman mengenai arti kurikulum berdasarkan kompetensi, Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI) bagi pengembangan KTSP.
Menentukan tingkat pemahaman dan ketrampilan yang dimiliki para pengembang KTSP mengenai prinsip-prinsip pengembangan KTSP adalah aspek kedua proses pengembangan KTSP yang kritikal. Sesuai dengan panduan yang diterbitkan BSNP maka KTSP haruslah dikembangkan berdasarkan delapan prinsip yaitu berpusat pada potensi dan kepentingan peserta didik, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, relevan dengan kebutuhan hidup, menyeluruh dan berkesinambungan, relajar sepanjang hayat, dan seimbang antara kepentingan nasional dan daerah. Para pengembang KTSP tidak saja harus memahami setiap prinsip tersebut serta implikasi terhadap pengembangan dokumen KTSP tetapi juga harus memiliki keterampilan menerapkan prinsip tersebut dalam mengembangkan dokumen KTSP dan implementasi KTSP.
Menentukan tingkat keber-hasilan pengembangan dokumen KTSP ádalah fokus penting berikutnya. Evaluasi KTSP harus dapat menentukan apakah dokumen KTSP yang telah dikembangkan statu satuan pendidikan (dalam hal ini sekolah) telah memenuhi berbagai patokan yang telah dipersyaratkan. Tentu saja dokumen KTSP tersebut ádalah hasil dari pekerjaan yang dilakukan para pengembang (guru) ber-dasarkan pedoman dan kemampuan yang mereka miliki. Meski pun demikian, sesuatu yang harus diingat bahwa berbagai faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan statu dokumen kurikulum tidak dapat diabaikan.
Dalam mengembangkan dokumen KTSP tersebut para pengembang harus pula mengembangkan materi muatan lokal yang harus dilemas menjadi mata pelajaran dan materi pendidikan kepribadian yang tidak dilemas dalam bentuk mata pelajaran. Evaluasi harus dapat mengungkapkan proses pengembangan muatan lokal dan kepribadian: bagaimana satuan pendidik mengidentikasi materi muatan lokal dan mengemasnya menjadi mata pelajaran serta kemudian memasukkannya dalam struktur kurikulum yang telah ditetapkan pemerintah pusat.
Menetukan tingkat keber-hasilan pelaksanaan KTSP terdiri atas dua fokus. Fokus pertama berkenaan dengan pengembangan silabus oleh para guru. Fokus kedua ádalah pelaksanaan dalam proses pembelajaran di kelas. Pengembangan silabus dapat dikatakan sebagai suatu bagian dari implementasi KTSP tetapi dapat juga dipandang sebagai suatu bagian dari pengembangan dokumen KTSP. Dalam tulisan ini, pengembangan silabus dianggap sebagai bagian dari implementasi karena silabus dapat saja dilakukan oleh guru yang tidak terlibat dalam pengembangan KTSP. Banyak guru yang tidak diikutsertakan dalam pengembangan suatu do-kumen KTSP karena berbagai faktor seperti jumlah guru yang banyak dari suatu mata pelajaran, dana yang tersedia tidak mencukupi, per-timbangan agar kelas-kelas dapat terus berproses selama dokumen KTSP disusun, kepemimpinan kepala sekolah, dan sebagainya. Dalam pengembangan KTSP di banyak satuan pendidikan silabus dikembangkan lebih lanjut menjadi RPP tetapi ini bukanlah sesuatu yang menjadi tuntutan BSNP.
Proses pembelajaran di kelas merupakan fokus yang teramat penting. Posisi penting tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, proses pembelajaran di kelas merupakan kegiatan aktualisasi dari dokumen kurikulum atau kurikulum sebagai rencana. Dokemen kurikulum yang paling dekat dengan proses pelaksanaan ádalah yang dinamakan silabus. Bagaimana rencana yang telah dikembangkan dalam silabus tersebut dilaksanakan merupakan keputusan evaluasi yang sangat diperlukan dalam mengkaji keberhasilan pelaksanaan KTSP secara keseluruhan.
Kedua, posisi penting proses pembelajaran tersebut disebabkan oleh kedudukan proses sebagai pengalaman belajar nyata (observed curriculum) terhadap hasil belajar. Dalam situasi mana pun, hasil belajar yang dimiliki peserta didik adalah hasil dari pengalaman belajar yang diikutinya dan bukan pengaruh dari kurikulum sebagai dokumen. Berbagai faktor lain memang berpengaruh pula terhadap hasil belajar tetapi dalam konteks evaluasi kurikulum dan pengembangan kurikulum maka hasil belajar adalah pengaruh langsung dari implementasi kurikulum.
Implementasi memang suatu kegiatan yang sangat kompleks. Berbagai faktor yang muncul saat pelaksanaan proses pembelajaran berpengaruh terhadap pelaksanaan dari apa yang sudah dirancang dalam dokumen kurikulum. Faktor-faktor seperti kondisi pribadi guru, kondisi peserta didik, lingkungan kelas, suasana sekolah pada hari itu, ketersediaan perlengkapan dan sumber belajar akan memberikan pengaruhnya yang cukup menentukan dalam implementasi suatu dokumen kurikulum. Tentu saja berbagai faktor tersebut tidak boleh lepas dari fokus evaluasi dan diperhitungkan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan KTSP secara keseluruhan.
Penentuan tingkat keber-hasilan atau kegagalan KTSP merupakan suatu per-timbangan yang bersifat menyeluruh. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan mengenai hasil belajar yang diperoleh peserta didik, berbagai hasil kajian pada dimensi sosialisasi, dan proses kemudian dilakukan judgment berdasarkan kriteria yang ada untuk menentukan tingkat keberhasilan tersebut. Keberhasilan itu dapat saja bersifat keberhasilan dalam dimensi nilai (merit) tetapi juga dapat yang berkenaan dengan aspek arti (worth) suatu KTSP. Tujuan evaluasi dalam memberikan per-timbangan pada kedua dimensi tersebut berkaitan dengan pengertian evaluasi KTSP sebagaimana yang dikemukakan oleh Tyler (1949), Guba dan Lincoln (1985), Orient (1993), Longstreet dan Shane (1993).
4. Fokus Evaluasi
Berdasarkan ruang lingkup pengembangan KTSP dan tujuan evaluasi yang telah dikemukakan maka fokus evaluasi pengembangan KTSP adalah berkenaan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Ide kurikulum
2. Pengembangkan dokumen KTSP
3. Pelaksanaan KTSP
4. Hasil Belajar KTSP
Fokus evaluasi pada pemahaman ide kurikulum adalah sesuatu yang banyak menentukan keberhasilan pengembangan dokumen KTSP. Ide kurikulum yang dimaksudkan di sini adalah ide tentang pendekatan standar dan kompetensi yang digunakan. Standard-based curriculum dan competency-based curriculum memiliki ciri yang berbeda dari knowledge-base curriculum. Perbedaan yang mencolok adalah dari cara mengembangkan standar dan pengaruhnya terhadap kompetensi, pemilihan konten kurikulum, dan organisasi konten kurikulum. Dalam konteks ini maka pemahaman para pe-ngembang KTSP terhadap ide kurikulum dirinci dalam berbagai hal sebagai berikut:
Pemahaman mengenai standard-based curriculum
Pemahaman pengertian kompetensi dan karak-teristik kurikulum berbasis kompetensi
Pemahaman pengertian SKL dan kedudukan SKL dalam pengem-bangan KTSP
Pemahaman SI meliputi Kerangka dasar, Struktur kurikulum, Beban belajar, Kalender pendidikan, SK dan KD mata pelajaran
Kegiatan sosialisasi ide kurikulum
Evaluasi tentang pemahaman mengenai standard-based curriculum akan memberikan dasar bagi para pengembang kurikulum untuk memiliki frame pengembangan KTSP secara lebih baik terutama berkaitan dengan pengertian tujuan, konten, dan organisasi konten KTSP. Hal yang sama pentingnya dengan pemahaman tentang standar adalah pemahaman mengenai kompetensi dan karakteristik kompetensi serta kaitannya antara standar dengan kompetensi. Kedua pendekatan ini memiliki persamaan yang kuat dalam pengertian konten kurikulum dan organisasi konten kurikulum tetapi antara keduanya berbeda secara prinsipiil dalam tingkat abstraksi dan kedalaman. Oleh karena itu para pengembang KTSP haruslah memiliki pemahaman mengenai keterkaitan berbagai istilah yang digunakan seperti standar kompetensi lulusan, standar kompetensi, dan kompetensi dasar.
Evaluasi tentang Standar Isi diperlukan karena Standar Isi adalah frame yang harus digunakan dalam pe-ngembangan KTSP. Berbagai struktur dan ketentuan kurikulum terdapat dalam Standar Isi. Hal-hal yang terkait dengan penerapan sistem semester dan beban kerja yang diukur dan dikemas dalam satuan kredit semester merupakan hal-hal yang tak dapat dilepaskan sebagai aspek penting dari Standar Isi yang harus dikaji oleh evaluasi disamping aspek-aspek lain yang sudah disebutkan.
Berkenaan dengan sosialisasi maka fokus tersebut dapat dirinci dalam aspek-aspek waktu pelaksanaan, efektivitas pelaksanaan, dana, peserta, asesmen hasil, dan evaluasi program. Pemahaman dan kemampuan para pengembang KTSP dan guru dalam menerapkan KTSP tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan sosialisasi ide kurikulum. Keberhasilan pelaksanaan ide kurikulum sangat ditentukan oleh keberhasilan sosialisasi dan oleh karenanya kegiatan sosialisasi adalah bagian yang sangat kritikal dan tidak boleh dibabaikan oleh kegiatan evaluasi KTSP.
Fokus evaluasi mengenai pengembangan dokumen KTSP ditujukan untuk menentukan apakah dokumen KTSP sudah dikembangkan sesuai dengan ide kurikulum dan prinsip pengembangan kurikulum. Dokumen kurikulum KTSP adalah rencana satuan pendidikan tersebut untuk mengembang-kan pengalaman pendidikan bagi para peserta didik. Karakteristik dokumen KTSP yang memberikan ke-sempatan setiap satuan pendidikan mengembangkan pemikiran kependidikannya bahkan boleh berbeda dari satuan pendidikan lain didaerahnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Keluarbiasaan itu disebabkan karena para pemikir pendidikan di satuan pendidikan tersebut memiliki kebebasan yang lebih baik dibandingkan pada masa sebelumnya. Keluarbiasaan itu menantang para pemikir pendidikan di sebuah satuan pendidikan untuk memahami dan memiliki kemampuan mengembangkan sebuah dokumen kurikulum berdasarkan ide kurikulum yang ditetapkan pemerintah pusat. Ini adalah pengetahuan dan ketrampilan baru bagi banyak guru, jika tidak dapat dikatakan seluruh guru, dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu evaluasi kurikulum harus memberikan perhatian yang cukup dan luas terhadap proses dan hasil dari pengembangan dokumen KTSP.
Dalam fokus ini evaluasi pengembangan KTSP harus memperhatikan hal-hal berikut :
a) berbagai istilah yang terdapat dalam ide dan prinsip pengembangan KTSP,
b) pemahaman dan ke-trampilan mengembangkan berbagai komponen dokumen KTSP,
c) pemahaman dan ke-terampilan mengembangkan kompetensi dalam komponen tujuan, bahan, proses, dan hasil belajar,
d) pemahaman dan kemampuan mengembangkan konten
e) pemahaman dan ke-trampilan mengembangkan materi muatan lokal,
f) kemampuan mengevaluasi keterkaitan satu komponen dengan komponen lain
g) proses pengembangan dokumen KTSP,
h) dana yang tersedia dan digunakan
i) waktu yang digunakan untuk pengembangan
j) evaluasi proses pe-ngembangan dokumen
Evaluasi pelaksanaan KTSP adalah fokus evaluasi KTSP yang secara konseptual tidak terlalu berbeda dari evaluasi implementasi kurikulum pada umumnya. Perbedaan yang mendasar hanyalah pada jarak antara para pengembang KTSP dan para pelaksana yang sangat dekat bahkan dapat dikatakan tidak ada jarak, dibandingkan dengan pengembangan kurikulum sebelumnya yang berlaku di Indonesia. Para pengembang KTSP adalah guru dan pelaksana kurikulum adalah mereka juga dan sejawat mereka. Oleh karena itu komunikasi antara mereka yang terlibat dalam pengembangan dokumen KTSP dengan mereka yang tidak terlibat diharapkan sangat intensif dan lebih terbuka. Lagi pula, dengan kedudukan sebagai sejawat maka kesenjangan dalam bahasa ketika menyampaikan apa yang sudah dikemas dalam dokumen KTSP diharapkan tidak terjadi. Meski pun demikian tentu saja sosialiasi semacam ini tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan sosialisasi yang diperlukan antara para pemikir kurikulum tingkat nasional dengan para pengembang KTSP.
Aspek-aspek yang perlu mendapatkan perhatian evaluasi pelaksanaan KTSP adalah:
a) Sosialisasi sejawat
b) Pengembangan silabus
c) Bantuan Profesional
d) Dana pelaksanaan
e) Fasilitas Pembelajaran
f) Sumber Pembelajaran
g) Proses Pelaksanaan
h) Asesmen hasil belajar
Evaluasi mengenai hasil belajar KTSP berkenaan dengan hasil belajar peserta didik baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, sikap, kreativitas, dan kemampuan menerapkan apa yang sudah dipelajari di sekolah dalam kehidupan di masyarakat. Aspek pe-ngetahuan, sikap, ketrampilan (intelektual dan lainnya), kreativitas, dan kemampuan menerapkan hasil belajar di masyarakat merupakan evaluasi hasil belajar KTSP yang sangat serius. Hal ini dikatakan serius karena hasil ini akan digunakan untuk menentukan apakah ide kurikulum berbasis standar dan kompetensi berhasil dan jika berhasil pada tingkat mana dalam mengembangkan kemampuan yang diiden-tifikasi pada awal proses pengembangan kurikulum.
Suatu kenyataan yang harus diakui adalah bahwa SKL yang tercantum dalam Permen nomor 23 tahun 2005 adalah pengembangan lebih lanjut dari kompetensi yang dihasilkan ketika pemerintah mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi di awal tahun 2000 sampai tahun 2004. Oleh karena itu memang terjadi beberapa kelemahan konseptual dalam rumusan standar tersebut sehingga apabila ada kesulitan membedakan SKL tersebut dengan kompetensi maka hal tersebut bukan sesuatu yang men-cengangkan. Meski pun demikian, secara konseptual keberhasilan KTSP harus diukur dari SKL dan ukuran itu harus berkenaan dengan dua komponen konten yang ada pada rumusan standar yaitu substansif, sikap, dan keterampilan.
C. Penutup
Apa yang dipaparkan penulis dalam makalah ini adalah fokus-fokus yang dapat dikaji dalam suatu evaluasi KTSP. Fokus-fokus tersebut dikembangkan berdasarkan pendekatan fidelity sehingga tidak terlepas dari apa yang ada pada suatu KTSP. Meski pun demikian, banyak fokus lain yang tidak dibahas dalam makalah ini tetapi dapat ditambahkan oleh mereka yang tertarik untuk melakukan evaluasi pengembangan KTSP. Fokus tentang prosedur dan pengembangan SKL dan Standar Isi serta kaitannya dengan prosedur dan penerapan kualitas yang diperlukan masyarakat di masa depan tidak dibahas dan dapat dijadikan fokus evaluasi pengembangan KTSP bagi peminat. Fokus besar tentang pengembangan dokumen dan pelaksanaan KTSP oleh satuan pendidikan mengalahkan fokus lainnya.
Mengenai metodologi apalagi penerapan model evaluasi kurikulum tidak dibahas mengingat keterbatasan waktu seminar dan keluasan ruang lingkup tersebut. Meski pun demikian, dapat dikemukakan bahwa pendekatan metodologi yang dipikirkan adalah pendekatan kuantitatif ketika hasil evaluasi yang dilakukan dimaksudkan untuk menjadi masukan kebijakan pada tingkat kota/kabupaten atau propinsi dan apalagi untuk tingkat nasional. Sedangkan metodologi kualitatif terutama dalam bentuk studi kasus dianjurkan untuk kajian evaluasi yang hasilnya akan menjadi masukan bagi satuan pendidikan yang bersangkutan. Tentu saja, model studi kasus ganda (multiple case study) dapat digunakan jika masukan hasil evaluasi digunakan bagi para pengembang KTSP di beberapa sekolah yang dijadikan evaluan.
Daftar Pustaka
Botcheva, L., White, C.R., dan Huffman, L.C. (2002). Learning Culture and Outcomes Measure-ment Practice in Community Agencies. The American Journal of Evaluation, 23, 4: 421-434
Brecher, C., Silver, D., Searcy, C. and Weitzman, B.C. (2005). Following the Money: Using Expenditure Analysis as an Evaluation Tool. American Journal of Evaluation, 26, 2: 166-188
Burke, J. (Ed.) (1995). Competency Based Education and Training. London: The Falmer Press.
Carr, J.F. dan Harris, D.E. (2001). Suceeding with Standards: Linking Curriculum, Assessment, and Action Planning. Alexandria, VA: Asso-ciation for Supervision and Curriculum De-velopment.
Chen, Huey-Tsyth (2005). Practical Evaluation: Assessing and Improving Planning, Implementa-tion, and Effectiveness. Thousand Oaks: Sage Publications
Cinterfor (2001). Competen-cy-based Curriculum Design. Available at http://www.ilo.org, tanggal 24 Januari 2002.
Conley, D. (1999). Statewide Strategies for Implemen-ting Competency-based Admissions Standards. Denver: State Higher Education Executive Officers.
Constantino, T.E. dan Greene, J.C. (2003). Reflections on the Use of Narrative in Evaluation. The American Journal of Evaluation, 24, 1: 35-50
Crew, Jr. R.E. dan Anderson, M.R. (2003). Accountability and Performance in Charter Schools in Florida: A Theory-Based Evaluation. The American Journal of Evaluation, 24, 2: 189-212
Cronholm, S dan Goldkuhl, G. (2003). Strategies for Information Systems Evaluation – Six Generic Types. Electronic Journal of Information Systems Evaluation, Vol. 6, 2: 65-74. Academic Conferences Limited. Availabe at www.ejise.com
Daugherty, R. (1995). National Curriculum Assessment: Review of Policy 1987 – 1994. London: The Palmer Press
Davidson, E.J. (2005). Evaluation Methodology Basics: The Nuts and Bolts of Sound Evaluation. Thousand Oaks: Sage Publications
De Stefano,L. (1992). Evaluating Effectiveness: a Comparison of Federal Expectations and Local Capabilities for Evaluation Among Federally Funded Model Demonstration Evaluans. Educational Evaluation and Policy Analysis, 14, 2: 175-180.
Ellison, C.M. (2004). Talent Development Professi-onal Development Evaluation Model: A Paradigm Shift, dalam Co-Constructing a Contextually Responsive Evaluation Framework: The Talent Development Model of School Reform (Eds. Thomas, V.G. dan Stevens, F.I.). New Direction for Eva-luation., Number 101
Feller, I. (2002). Performance Measurement Redux. The American Journal of Evaluation, 23, 4: 435-452
Gall, M.D. (1981). Handbook for evaluating and selecting curriculum material. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Guba,E.G. dan Lincoln,Y.S. (1981). Effective evaluation: Improving the usefulness of evaluation results through responsive and naturalistic approach. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers
Harbour,J.L. (1997). The Basics of Performance Measurement. New York: Quality Resources.
Longstreet, W.S. dan H.G. Shane (1993). Curri-culum for a new millenium. Boston: Allyn and Bacon.
Madaus, G.F., Scriven, M.S. dan Stufflebeam, D.L. (Eds)(1983). Evaluation Models: Viewpoints on Educational and Human Services Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.
McCormick, R. dan James, M. (1983). Curriculum Evaluation in Schools. London: Croom Helm
McDavid, J.C. dan Hawthorn, L.R.L. (2006). Evaluan Evaluation and Performance Measurement: an Introduction to Practice. Thousand Oaks: Sage Publications
McLaughlin, M.W. dan Phillips, D.C. (1991). Evaluation and Education: at Quarter Century. Chicago, Illinois: National Society for the Study of Education.
McNeil, J.D. (1977), Curriculum: a compre-hensive introduction. Boston: Little, Brown and Company.
Melrose, M. (1996). Encouraging Transac-tional and Critical Models of Curriculum Evaluation. Different Approaches: Theory and Practice in Higher Education. Proceedings HERDSA Conference 1996. Perth, Western Australia, 8-12 July. Available at: http://www.herdsa.org.au/confs/1996/melrose.html
Neuber, K.A. dan kawan-kawan (1980). Needs Assessment: A Model for Community Planning. Sage Human Services Guides, Volume 14. Beverly Hills: Sage Publications
Print, M. (1989). Curriculum development and design. Wellington: Allen & Unwin.
Picciotto, R. (2003). Inter-national Trends and Development Evaluation: The Need for Ideas. The American Journal of Evaluation, 24, 2: 227-234
Raggart,P. dan G. Weiner (1985). Curriculum and assessment: some policy issues. Oxford: Pergamon Press.
Rossi,P.H. dan H.E. Freeman (1990). Evaluation: a Systematic Approach. Newbury Park: Sage Publications
Sanders, J.R. (chair)(1994), The Evaluan Evaluation Standards, 2nd Ed., Thousand Oaks: Sage Publications
Scriven, M. (1991). Evaluation Thesaurus, 4th Ed., Thousand Oaks: Sage Publications
Silverman, D. (1993). Interpreting Qualitative Data: Methods for Analysing Talk, Text and Interaction. London: Sage Publications
Skilbeck, M. (Ed.)(1984). Reading in school-based curriculum development. London: Harper and Row.
Storange, J.H. dan V.M.Helm (1992). A Perfomance Evaluation System for Professional Support Personnel. Educational Evaluation and Policy Analysis, 14, 2: 175-180.
Supovitz, J.A. dan Taylor, B.S. (2005). Systemic Education Evaluation: Evaluating the Impact of Sustemwide Reform in Education. American Journal of Evaluation, 26, 2: 204-230.
Tanner, D. dan L.N. Tanner (1980). Curriculum development. Theory into practice. New York: Macmillan Publishing House.
Torres, R.T., Preskill, H.S., dan Piontek, M.E. (1996). Evaluation Strategies for Commu-nicating and Reporting: Enhancing Learning in Organi-zations. Thousand Oaks: Sage Publications
Tucker, M.S. dan J.B. Codding (1998). Standards for Our Schools: How to Set Them, Measure Them, and Reach Them. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Warren, J.R., Jenkins, K.N. dan Kulick, R.B. (2006). High School Exit Examinations and State-Level Completion and GED Rates, 1975 Through 2002. Edu-cational Evaluation and Policy Analysis, 28, 2: 131-152
Warwick, D. (1975). Curriculum structure and design. London: University of London Press.
Worthen, B.R. dan Sanders, J.R. (1987). Educational Evaluation: Alternative Approaches and Prac-tical Guidelines. New York & London: Longman
Zais, R.S. (1976) Curriculum: principles and foundations. New York: Harper and Row Publishers.
[1] KTSP adalah sesuatu yang dievaluasi dapat berbentuk suatu program pendidikan, kurikulum, atau kebijakan pendidikan .
[2] Istilah lain yang digunakan untuk worth adalah value, pay-off, extrinsic, context determined value