1. LANDASAN PSIKOLOGIS
Aspek psikologis anak merupakan salah satu yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan kurikulum. Hal ini karena kurikulum merupakan pedoman untuk mengantarkan anak didik sesuai dengan harapan dan tujuan pendidikan. Sementara itu anak didik secara psikologis memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Pemahaman tentang anak sangat penting bagi pengembang kurikulum, karena kesalahan pesepsi atau kedangkalan pemahaman tentang anak, dapat menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan praktik pendidikan. Adapun aspek psikologi yang harus diperhatikan adalah :
a. Psikologi Perkembangan Anak
Pemahaman terhadap perkembangan anak sangat penting dalam pengembangan kurikulum, didasarkan pada beberapa alas an :
Pertama, setiap anak memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu. Pada masing-masing tahapan anak-anak memiliki karakteristik dan tugas-tugas perkembangan tertentu. Seandainya tugas-tugas perkembangan itu tidak terpenuhi, akan mengalami hambatan pada tahapan berikutnya.
Kedua, anak didik yang berada pada masa perkembangan, merupakan masa yang sangat menentukan untuk keberhasilan dan kesuksesan hidup mereka. Pada masa tersebut anak mengalami perkembangan yang sangat cepat dalam berbagai aspek perkembangan.
Ketiga, pemahaman terhadap perkembangan anak, akan memudahkan dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan, baik yang menyangkut proses pemberian bantuan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi, maupun dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan.
Salah satu teori perkembangan anak yang digunakan adalah teori Piaget yang terkenal dengan teori perkembangan kognitif, yang menyatakan bahwa kemampuan kognitif merupakan suatu yang fundamental yang mengarahkan dan membimbing perilaku anak. Dua konsep yang dikemukakan adalah mengenai fungsi dan struktur.
Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama untuk setiap orang. Tujuannya adalah untuk menyusun struktur kognitif internal. Melalui fungsi akan terjadi kecenderungan-kecenderungan biologis untuk mengorganisasi pengetahuan ke dalam struktur kognisi, dan untuk beradaptasi kepada berbagai tantangan yang dating dari luar dirinya.
Struktur merupakan seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang digunakan untuk memahami lingkungan. Piaget berpendapat bahwa dalam memahami lingkungan anak bersifat aktif. Artinya pengetahuan dibentuk dan diciptakan sendiri. Anak tidak menerima pengetahuan secara pasif dari lingkungannya.
Piaget mengemukakan empat tahapan perkembangan kognitif :
1. Sensorimotor yang berkembang dari mulai lahir sampai 2 tahun;Pada fase ini yang berlangsung dari lahir sampai usia 2 tahun, kemampuan kognitif anak masih terbatas. Piaget mengistilahkan dengan kemampuan yang bersifat primitif artinya didasarkan pada perilaku yang terbuka. Kemampuan intelegensi yang dimiliki anak merupakan intelegensi dasar yang amat berarti dan menentukan untuk perkembangan kognitif selanjutnya.
Intelegensi sensorimotor juga dinamakan intelegensi praktis (practical intelligence), yaitu bahwa pada masa ini anak hanya belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis, dan belajar bagaimana menimbulkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia lakukan. Ia hanya mencari cara melakukan perbuatan tersebut.
Kemampuan anak dalam berbahasa pada masa ini belum muncul. Interaksi dilakukan melalui gerakan-gerakan, menyentuh, bergerak dan sebagainya. Dengan aktifitas tersebut anak bereksperimen, sehingga lambat laun anak belajar tentang bagaimana menguasai lingkungannya secara lebih baik. Pada masa ini anak-anak menghadapi tantangan-tantangan. Dengan tantangan itu anak menerima dan mengambil informasi dari luar. Informasi tersebut kemudian diolah, untuk digunakan bila ia berinteraksi lagi dengan lingkungan. Demikian terus menerus sehingga interaksi anak menjadi lebih baik dan bermakna.
Piaget menyatakan bahwa asal mula tumbuhnya struktur mental adalah aksi atau tindakan, artinya bahwa bila anak melihat, merasakan, atau menggerakkan sesuatu benda, maka ia akan memaksa otaknya untuk membangun program-program mental untuk menguasai atau menanganinya.
2. Praoperasional, mulai dari 2 sampai 7 tahun;
Fase ini ditandai beberapa cirri :
Pertama, kesadaran anak terhadap sesuatu obyek, anak sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda. Artinya meski anak meninggalkan dalam arti tidak memandang lagi benda tersebut, tetapi ia sadar bahwa benda tersebut tetap ada. Kondisi ini diistilahkan dengan kesadaran akan object permanence. Kesadaran ini muncul sebagai hasil munculnya kapasitas kognitif baru yang disebut mental representation yaitu sesuatu yang mewakili atau menjadi symbol atau wujud sesuatu yang lain, yang memungkinkan anak berpikir dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu, walaupun semua itu berada di luar pandangannya.
Kedua, kemampuan berbahasa mulai berkembang. Melalui pengalamannya anak dapat mengenal dan memberikan objek dengan nama-nama sesuai dengan gagasan yang telah ia bentuk dalam otak. Anak mampu mengekspresikan sesuatu dengan kalimat pendek namun tidak efektif.
Ketiga, fase ini merupakan fase intuisi, yaitu anak mulai mengetahui perbedaan antar obyek-obyek sebagai bagian dari individu atau kelasnya. Misalnya perbedaan antara bentuk tunggal dan jamak.
Keempat, pandangan terhadap dunia bersifat “animistic”, yaitu bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia adalah hidup. Contoh : bulan yang bergerak, menandakan bahwa bulan tersebut hidup. Fase ini bersifat “articifialistic”, artinya mereka memandang bahwa gerakan tersebut disebabkan oleh adanya kekuatan yang menggerakkan semacam raksasa atau manusia yang hebat.
Kelima, pada fase ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan sangat dipengaruhi oleh sifat “egocentric”, sehingga menganggap orang lain memiliki cara pandang yang sama dengan dirinya terhadap suatu obyek. Ia tidak dapat bekerjasama secara efektif dalam kelompok-kelompok, karena peraturan dalah “peraturannya”. Sifat ini akan berkurang pada suatu saat, yaitu ketika anak telah banyak berinteraksi sosial dengan berbagai macam individu-individu yang lain.
3. Operasional konkret, berkembang dari 7 sampai 11 tahun;
Pada masa ini anak terbatas pada objek-objek yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Anak berpikir tentang objek-objek atau benda yang ia temukan secara langsung, seperti beratnya, warnanya dll. Ia juga berpikir tentang aktifitas yang bias ia lakukan dengan menggunakan benda-benda tersebut. Di fase ini kemampuan anak ditambah dengan system of operations (satuan langkah berpikir), yang berguna untuk mengoordinasikan pemikiran suatu ide dalam peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. Kemampuan satuan langkah berpikir ini, kelak menjadi dasar terbentuknya intelegensi. Menurut Piaget, intelegensi bukan sifat yang biasanya digambarkan dengan skor IQ, tetapi merupakan suatu proses, yaitu tahapan-tahapan langkah operasional tertentu yang mendasari semua pikiran dan pengetahuan manusia, di samping merupakan proses pembentukan pemahaman.
Kemampuan anak pada fase ini meliputi :
Conservation, yaitu kemampuan anak dalam memahami aspek kumulatif materi, seperti volume dan jumlah.
Addition of classes, yaitu kemampuan anak dalam memahami cara mengombinasikan benda-benda yang dianggap memiliki kelas yang rendah dihubungkan dengan kelas yang lebih tinggi. Contoh : kelompok ayam, itik dihubunggan dengan kelompok yang lebih tinggi yaitu kelompok unggas. Dan sebaliknya memilah-milah kelompok tinggi menjadi yang lebih rendah.
Multifrication of classes, yaitu kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda, seperti warna bunga, jenis bunga untuk membentuk gabungan golongan benda, seperti mawar merah, mawar putih dsb. Juga kemampuan untuk memilah-milah, seperti bunga mawar terdiri ada mawar warna putih, merah dsb.
Pada fase ini berkembang pula kemampuan matematis seperti menambah, mengurangi, mengalika, ataupun membagi. Kemampuan ini merupakan dasar bagi pengembangan “akal pikiran”. Hasil fase ini adalah anak dapat mengorganisasi lingkungannya ke dalam struktur-struktur kognitif berupa ide atau konsep .
Pada fase ini kemampuan anak masih terbatas pada hal-hal konkret, sehingga proses berpikir pada anak akan terjadi pada aktifitas – aktifitas langsung. Anak akan menemui kesulitan untuk memecahkan masalah hanya dengan kemampuan daya otaknya tanpa mencoba melakukan kegiatan langsung.
4. Operasional formal, yang dimulai dari 11 sampai dengan 14 tahun.
Fase ini dinamakan “formal operasional, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sistematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Operasionalnya tidak lagi terbatas pada hal-hal yang konkret saja, tetapi dapat juga dilakukan pada operasional yang lain, dengan menggunakan logika yang lebih tinggi tingkatannya, seperti berpikir hipotesis, rasional, abstrak dsb. Aktifitas proses berpikir pada fase ini menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak. Anak sudah memiliki kemampuan memprediksi berbagai macam kemungkinan. Ia juga sudah bisa membedakan mana yang terjadi dan mana yang seharusnya terjadi. Ia juga dapat menyusun hipotesis daqri suatu kenyataan seperti :”apabila…maka..”
b. Psikologi Belajar
Pengembangan kuriklum dan teori belajar memiliki hubungan yang erat, karena kurikulum pada dasarnya disusun untuk memberlajarkan siswa. Banyak teori yang berkembang mengenai belajar sebagai proses perubahan tingkah laku. Perlu dicatat bahwa setipa teori memiliki pangkal yang sama yaitu hakikat manusia. Dua teori yang terkenal adalah teori John Locke dan Leibnitz. John Locke mengemukakan teori tabularasa, menyatakan bahwa manusia adalah seperti kertas putih, apa yang akan ditulis pada kertas tersebut tergantung pada orang yang menulis. Teori ini memunculkan aliran behavioristik-elementaristik. Sementara itu Leibnitz menyatakan bahwa manusia adalah organisasi aktif. Manusia merupakan sumber dari semua kegiatan, sehingga manusia bebas untuk berbuat apa yang ia inginkan. Tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan ini menghasilkan aliran belajar kognitif-wholistik.
Teori ini berdampak pada teori belajar yang mengikutinya, aliran behavioristik menyatakan bahwa belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus dan Respon (S-R) sementara itu aliran kognitif menyatakan bahwa belajar adalah kegiatan mental yang ada dalam diri setiap individu. Sesuatu yang ada pada diri individulah yang menggerakkan seseorang mencapai perubahan tingkah laku.
Pengembangan kurikulum harus mempertimbangkan kedua hal tersebut, baik psikologi perkembangan anak maupun psikologi belajar, sehingga kurikulum yang disusun dapat dilaksanakan dengan efektif.
0 komentar:
Post a Comment