1. LANDASAN FILOSOFIS
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan . Di dalamnya tidak hanya mengandung rumusan tujuan yang harus dicapai, tetapi juga pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap anak didik. Begitu pentingnya fungsi dan peran kurikulum dalam menentukan keberhasilan pendidikan, karena itu kurikulum harus dikembangkan dengan fondasi yang kuat. Untuk mendirikan bangunan kurikulum diperlukan beberapa landasan. Sanjaya (2008) menyatakan bahwa landasan pengembangan kurikulum ada tiga yaitu landasan filosofis, psikologis, dan landasan sosiologis-teknologis. Mari kita bahas satu persatu, dalam laman ini kita bahas terlebih dahulu landasan filosofis.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno “philos” dan “sophia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, an Sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dari arti harfiah ini, Filsafat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara popular filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Henderson (1959) mengemukakan “popularly philosophy means one’s general view of live of men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian maka jelas setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Dalam pengembangan kurikulum filsafat menjawab hal-hal mendasar bagi pengembangan kurikulum, antara lain ke mana anak didik akan dibawa ? masyarakat yang bagaimana yang akan dibentuk melalui pendidikan tersebut ? apa hakikat pengetahuan yang akan diajarkan kepada anak didik ?norma atau system yang agaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus ? bagaimana proses pendidikan harus dijalankan ?
Demikian mendasarnya pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh filsafat. Dengan kedudukannya yang begitu mendasar, filsafat memiliki paling tidak empat fungsi yaitu :
1.Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan
2.Filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
3.Filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan4.Filsafat dapat menentukan tolok ukur keberhasilan proses pendidikan.
Filsafat sebagai sebuah system nilai (value system) menjadi dasar yang menentukan tujuan pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik dan dijadikan pedoman bagi masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai, karena kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan diri dan dapat hidup dalam system nilai masyarakatnya sendiri.
Indonesia memiliki Pancasila sebagai system nilai yang menjadi pedoman hidup bangsa, karena itu tujuan dan arah dari segala ikhtiar berbagai level dan jenis pendidikan adalah membentuk manusia yang Pancasilais. Dengan demikian isi kurikulum yang disusun harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Pancasila harus menjadi bingkai bagi pengembangan tiga domain (bidang) yang menjadi tujuan pendidikan menurut Bloom (1965) meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor. Kecerdasan yang harus dikembangkan, sikap yang harus ditanamkan, dan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap anak didik harus selalu diwarnai dan dijiwai nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian Pancasila bingkai dari tujuan dan pelaksanaan pendidikan Indonesia.
Filsafat juga merupakan proses berpikir. Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Berfikir filosofis adalah berfikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut menurut Sidi Gazalba (Uyoh Sadulloh : 2004) antara lain : berpikir radikal (radical thinking), sistematis, dan universal. Berpikir radikal yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, sampai pada konsekuensi terakhir. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir universal adalah tidak berpikir secaa khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan secara sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya. Orang yang berfilsafat selalu berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Dalam perkembangan filsafat, ternyata pandangan tentang hakikat kebenaran berbeda-beda. Ada empat aliran utama dalam filsafat yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksitensialisme. Masing-masing aliran mengkaji tentang cabang filsafat , antara lain metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), aksiologi (nilai-nilai). Setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda tentang cabang-cabang tersebut. Pandangan tersebut antara lain :
1.Idealisme , memandang bahwa kebenaran datangnya dari “Yang Maha Kuasa”. Manusia tidak akan dapat melihatnya secara lengkap. Apa yang dilihat manusia tentang kenyataan itu hanya bayang-bayangnya. Seperti halnya orang bercermin. Manusia hanya mampu menemukan kebenaran yang sebenarnya sudah ada, itu pun hanya sebagian kecil saja, sementara banyak kebenaran yang tidak mungkin manusia mampu menangkapnya. Pengaruhnya terhadap pandangan terhadap pengetahuan, yaitu bahwa aliran ini menganggap bahwa pengetahuan itu datangnya dari kekuasaan yang Maha Tinggi seoerti yang telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu. Demikian juga tentang norma seluruhnya telah diatur oleh “Yang Maha” tersebut. Manusia tidak perlu meragukan kebenarannya selain harus mematuhinya.
2. Realisme, memandang bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hokum-hukum universal, hanya saja dalm menemukannya dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Pengetahuan dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra. Kebenaran menurut aliran ini adalah bila sesuatu itu dapat dibuktikan melalui pengalaman, manakala tidak dapat dibuktikan maka ia bukan merupakan kebenaran. Mengenai norma dan nilai, menurut pandangan aliran ini disesuaikan dengan penemuan ilmiah. Norma dapat berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pragmatisme, memandang bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan social, antara manusia dengan manusia lainnya. Berkat hubungan social tersebut manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya. Pengetahuan diperoleh dari pengamatan dan konteks sosial yang berguna untuk kehidupan masyarakat. Norma dapat berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena yang menjadi ukuran adalah kehidupan sosial.
4. Eksistensialisme, memandang bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih. Norma-norma ditentukan sendiri sesuai dengan kebebasannya itu. Karena itu setiap individu dapat memiliki norma yang berbeda.
Perbedaan pandangan ini selanjutnya berpengaruh terhadap isi dan strategi kurikulum. Kurikuum yang cenderung bersifat idealis akan berbeda dengan kurikulum yang berorientasi kepada aliran, realis, pragmatis, atau eksistensialis. Namun demikian, para pengembang kurikulum dapat menggabungkan keempat aliran tersebut dalam penyusunan kurikulum. Suatu contoh dalam pendidikan moral, menggunakan aliran idealis, tetapi untuk science perlu dikembangkan juga sikap aliran realisme.
0 komentar:
Post a Comment