Thursday, 29 December 2011

Landasan Filosofis pengembangan kurikulum

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

1. LANDASAN FILOSOFIS
Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan . Di dalamnya tidak hanya mengandung rumusan tujuan yang harus dicapai, tetapi juga pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap anak didik. Begitu pentingnya fungsi dan peran kurikulum dalam menentukan keberhasilan pendidikan, karena itu kurikulum harus dikembangkan dengan fondasi yang kuat. Untuk mendirikan bangunan kurikulum diperlukan beberapa landasan. Sanjaya (2008) menyatakan bahwa landasan pengembangan kurikulum ada tiga yaitu landasan filosofis, psikologis, dan landasan sosiologis-teknologis. Mari kita bahas satu persatu, dalam laman ini kita bahas terlebih dahulu landasan filosofis.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno “philos” dan “sophia”. Philos, artinya cinta yang mendalam, an Sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dari arti harfiah ini, Filsafat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara popular filsafat sering diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu. Henderson (1959) mengemukakan “popularly philosophy means one’s general view of live of men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian maka jelas setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis memiliki pandangan hidup yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baik.
Dalam pengembangan kurikulum filsafat menjawab hal-hal mendasar bagi pengembangan kurikulum, antara lain ke mana anak didik akan dibawa ? masyarakat yang bagaimana yang akan dibentuk melalui pendidikan tersebut ? apa hakikat pengetahuan yang akan diajarkan kepada anak didik ?norma atau system yang agaimana yang harus diwariskan kepada anak didik sebagai generasi penerus ? bagaimana proses pendidikan harus dijalankan ?
Demikian mendasarnya pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh filsafat. Dengan kedudukannya yang begitu mendasar, filsafat memiliki paling tidak empat fungsi yaitu :
1.Filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan
2.Filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
3.Filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan
4.Filsafat dapat menentukan tolok ukur keberhasilan proses pendidikan.
Filsafat sebagai sebuah system nilai (value system) menjadi dasar yang menentukan tujuan pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa pandangan hidup atau sistem nilai yang dianggap baik dan dijadikan pedoman bagi masyarakat akan tercermin dalam tujuan pendidikan yang harus dicapai, karena kurikulum pada hakikatnya berfungsi untuk mempersiapkan anggota masyarakat yang dapat mempertahankan, mengembangkan diri dan dapat hidup dalam system nilai masyarakatnya sendiri.
Indonesia memiliki Pancasila sebagai system nilai yang menjadi pedoman hidup bangsa, karena itu tujuan dan arah dari segala ikhtiar berbagai level dan jenis pendidikan adalah membentuk manusia yang Pancasilais. Dengan demikian isi kurikulum yang disusun harus memuat dan mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Pancasila harus menjadi bingkai bagi pengembangan tiga domain (bidang) yang menjadi tujuan pendidikan menurut Bloom (1965) meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor. Kecerdasan yang harus dikembangkan, sikap yang harus ditanamkan, dan keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap anak didik harus selalu diwarnai dan dijiwai nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian Pancasila bingkai dari tujuan dan pelaksanaan pendidikan Indonesia.
Filsafat juga merupakan proses berpikir. Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Berfikir filosofis adalah berfikir yang memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut menurut Sidi Gazalba (Uyoh Sadulloh : 2004) antara lain : berpikir radikal (radical thinking), sistematis, dan universal. Berpikir radikal yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya, sampai pada konsekuensi terakhir. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran dengan urutan yang bertanggung jawab dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir universal adalah tidak berpikir secaa khusus, yang hanya terbatas kepada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup keseluruhan secara sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya. Orang yang berfilsafat selalu berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruh sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran.
Dalam perkembangan filsafat, ternyata pandangan tentang hakikat kebenaran berbeda-beda. Ada empat aliran utama dalam filsafat yaitu idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksitensialisme. Masing-masing aliran mengkaji tentang cabang filsafat , antara lain metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemologi (hakikat pengetahuan), aksiologi (nilai-nilai). Setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda tentang cabang-cabang tersebut. Pandangan tersebut antara lain :
1.Idealisme , memandang bahwa kebenaran datangnya dari “Yang Maha Kuasa”. Manusia tidak akan dapat melihatnya secara lengkap. Apa yang dilihat manusia tentang kenyataan itu hanya bayang-bayangnya. Seperti halnya orang bercermin. Manusia hanya mampu menemukan kebenaran yang sebenarnya sudah ada, itu pun hanya sebagian kecil saja, sementara banyak kebenaran yang tidak mungkin manusia mampu menangkapnya. Pengaruhnya terhadap pandangan terhadap pengetahuan, yaitu bahwa aliran ini menganggap bahwa pengetahuan itu datangnya dari kekuasaan yang Maha Tinggi seoerti yang telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu. Demikian juga tentang norma seluruhnya telah diatur oleh “Yang Maha” tersebut. Manusia tidak perlu meragukan kebenarannya selain harus mematuhinya.
2. Realisme, memandang bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hokum-hukum universal, hanya saja dalm menemukannya dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Pengetahuan dapat diperoleh secara ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat diindra. Kebenaran menurut aliran ini adalah bila sesuatu itu dapat dibuktikan melalui pengalaman, manakala tidak dapat dibuktikan maka ia bukan merupakan kebenaran. Mengenai norma dan nilai, menurut pandangan aliran ini disesuaikan dengan penemuan ilmiah. Norma dapat berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pragmatisme, memandang bahwa kenyataan itu pada hakikatnya berada pada hubungan social, antara manusia dengan manusia lainnya. Berkat hubungan social tersebut manusia dapat memperbaiki mutu kehidupannya. Pengetahuan diperoleh dari pengamatan dan konteks sosial yang berguna untuk kehidupan masyarakat. Norma dapat berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat, karena yang menjadi ukuran adalah kehidupan sosial.
4. Eksistensialisme, memandang bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih. Norma-norma ditentukan sendiri sesuai dengan kebebasannya itu. Karena itu setiap individu dapat memiliki norma yang berbeda.
Perbedaan pandangan ini selanjutnya berpengaruh terhadap isi dan strategi kurikulum. Kurikuum yang cenderung bersifat idealis akan berbeda dengan kurikulum yang berorientasi kepada aliran, realis, pragmatis, atau eksistensialis. Namun demikian, para pengembang kurikulum dapat menggabungkan keempat aliran tersebut dalam penyusunan kurikulum. Suatu contoh dalam pendidikan moral, menggunakan aliran idealis, tetapi untuk science perlu dikembangkan juga sikap aliran realisme.

Tuesday, 27 December 2011

Prinsip Pengembangan Kurikulum

PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan . Di dalamnya tidak hanya mengandung rumusan tujuan yang harus dicapai, tetapi juga pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap anak didik. Begitu pentingnya fungsi dan peran kurikulum dalam menentukan keberhasilan pendidikan, karena itu kurikulum harus dikembangkan dengan fondasi yang kuat.
Agar kurikulum dapat berfungsi sebagai pedoman, perlu memerhatikan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum sebagai berikut :
1. Prinsip Relevansi
Prinsip ini mengandung maksud bahwa kurikulum harus mencakup di dalamnya pengalaman-pengalaman belajar yang relevan dengan kehidupan masyarakat. Hal ini didasarkan bahwa kurikulum merupakan rel bagi pendidikan untuk membawa siswa agar dapat hidup dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat serta membekali siswa baik dalam bidang pengetahuan, sikap maupun keterampilan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat.
Relevansi yang dituntut dari kurikulum ada dua macam, yaitu relevansi internal dan relevansi eksternal. Relevansi internal adalah bahwa setiap kurikulum harus memiliki keserasian antara komponen-komponen di dalamnya, yaitu keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi, atau pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, strategi atau metode yang digunakan serta alat penilaian untuk melihat ketercapaian tujuan. Relevansi internal menunjukkan keutuhan suatu kurikulum.
Kedua, adalah relevansi eksternal merupakan keserasian kurikulum dengan mencakup komponen tujuan, isi, dan proses belajar siswa dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Relevansi eksternal meliputi tiga relevansi :
a. Relevan dengan lingkungan hidup anak didik, yaitu bahwa proses pengembangan dan penetapan isi kurikulum hendaknya disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar siswa. Contoh : untuk anak-anak di lingkungan dikenalkan dengan cara hidup di kota, tata nilai yang berkembang di kota, serta cara mempertahankan hidup di kota, sedangkan anak-anak di pegunungan dikenalkan dengan lingkungan gunung, cara mempertahankan kelestarian daerah pegunungan, cara hidup di pegunungan, tanaman yang sesuai, dengan kontur tanah dan sebagainya.
b. Relevan dengan perkembangan zaman baik sekarang maupun yang akan dating, yaitu bahwa isi kurikulum harus sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang. Segala yang diajarkan kepada anak didik harus bermanfaat untuk kehidupan siswa pada waktu yang akan datang. Hal ini telah dilakukan oleh banyak lembaga saat ini, terlepas didasari pengetahuan tentang kebutuhan relevansi ini atau tidak seperti pengenalan computer dan internet di sekolah, yang memungkinkan anak belajar mengakses informasi untuk kehidupannya di masa sekarang dan di masa akan dating, menghadapi era indormasi dan komunikasi berbasis internet.
c. Relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan, yaitu bahwa sekolah harus membekali siswa dengan mengajarkan hal-hal yang dapat memenuhi tuntutan dunia kerja. Karena itu pada saat ini kebijakan di Indonesia sedang dikembangkan Sekolah Menengah Kejuruan untuk memenuhi tuntutan di dunia kerja, meski kebijakan ini mungkin berubah sesuai dengan tuntutan dunia pekerjaan.
Untuk memenuhi prinsip relevansi, perlu dilakukan kajian pendahuluan dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan, sebelum menentukan isi dan model kurikulum yang akan digunakan. Kegiatan ini seperti survey kebutuhan dan tuntutan masyarakat, atau melakukan studi tentang jenis-jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh setiap lembaga atau instansi.
2. Prinsip Fleksibilitas
Dalam kenyataan di dunia pendidikan, tentu seringkali harapan yang ada dalam kurikulum tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Ketidaksesuaian dapat ditunjukkan oleh kemampuan guru yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, latar belakang atau kemampuan siswa yang rendah, atau mungkin sarana dan prasarana yang tidak memadai. Di sini kurikulum harus bersifat lentur, dalam arti harus dapat dilaksanakan sesua dengan kondisi yang ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit diterapkan.
Prinsip ini mengandung dua sisi :
a. Fleksibel bagi guru, yaitu kurikulum harus memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program pengajarannya sesuai dengan kondisi yang ada.
b. Fleksibel bagi siswa, yaitu kurikulum harus menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai dengan bakat dan minat anak didik.
3. Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung maksud bahwa dalam pengembangan kurikulum perlu menjaga saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pelajaran pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Dalam penyusunan materi perlu dipertimbangkan bahwa materi yang menjadi syarat untuk menguasai materi di tingkat yang lebih tinggi, telah dikuasai pada tingkat sebelumnya. Prinsip ini begitu penting untuk menjaga agar tidak terjadi pengulangan-pengulangan materi pelajaran yang menyebabkan program pengajaran menjadi tidak efektif dan efisien, lebih lagi juga untuk menunjang keberhasilan anak didik dalam menguasai materi pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.
Untuk menjalankan prinsip ini , perlu ada kerjasama antara pengembang kurikulum pada setiap jenjang pendidikan, baik pengembang tingkat dasar maupun menengah, bahkan tingkat perguruan tinggi.
4. Prinsip Efektifitas
Prinsip ini berkaitan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Efektifitas dalam pengembangan kurikulum mencakup dua sisi :
a. Efektifitas berhubungan dengan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Ini berhubungan dengan kebrhasilan guru dalammengimplementasikan program sesuai dengan rencana yang disusun.
b. Efektifitas kegiatan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Ini berhubungan dengan pencapain siswa terhadap tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu.
5. Prinsip Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum dikatakan efisien bila dengan sarana, tenaga, dan biaya yang minmal dapat memperoleh hasil yang maksimal. Sebagus apapun kurikulum, bila menuntut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat khusus bahkan mahal, maka kurikulum tersebut tidak praktis dan sulit untuk dilaksanakan. Kurikulum harus disusun untuk dapat dapat digunakan dalam segala kondisi yang penuh keterbatasan, sesuai dengan kondisi lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Wednesday, 21 December 2011

Hakikat Pengembangan Kurikulum

HAKIKAT PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam sistem pendidikan . Di dalamnya tidak hanya mengandung rumusan tujuan yang harus dicapai, tetapi juga pemahaman tentang pengalaman belajar yang harus dimiliki setiap anak didik. Begitu pentingnya fungsi dan peran kurikulum dalam menentukan keberhasilan pendidikan, karena itu kurikulum harus dikembangkan dengan fondasi yang kuat.
Pengembangan kurikulum pada hakekatnya adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana cara mempelajarinya. Namun demikian, persoalan mengembangkan kurikulum bukan merupakan hal yang sederhana dan mudah. Menentukan isi atau muatan kurikulum harus berangkat dari visi, misi, serta tujuan yang ingin dicapai, sedangkan menentukan tujuan yang ingin dicapai erat kaitannya dengan persoalan sistem nilai dan kebutuhan masyarakat.
David Pratt (1980) mengemukakan bahwa istilah lebih mengena dibandingkan dengan pengembangan yang mengandung konotasi bersifat grradual. Desain adalah proses yang disengaja tentang suatu pemikiran , perencanaan dan penyeleksian bagian-bagian, tehnik dan prosedur yang mengatur suatu tujuan atau usaha. Dengan pengertian tersebut, pengembangan kurikulum diartikan sebagai proses atau kegiatan yang disengaja dan dipikirkan untuk menghasilkan sebuah kurikulum sebagai pedoman dalam proses dan penyelenggaraan pembelajaran oleh guru di sekolah.
Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, yang meliputi Orientasi, pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Seller memandang bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai dari menentukan orientasi, yakni kebijakan-kebijakan umum meliputi enam aspek : tujuan pendidikan, pandangan tentang anak, pandangan tentang proses pembelajaran, pandangan tentang lingkungan , konsepsi tentang peranan guru, dan evaluasi. Berdasarkan orientasi selanjutnya dikembangkan kurikulum menjadi pedoman pembelajaran, diimplementasikan dalam bentuk proses pembelajaran dan dievaluasi. Hasil evaluasi tersebut kemudian dijadikan bahan dalam menentukan orientasi, begitu seterusnya, hingga membentuk siklus.
Dari pendapat Seller tersebut, pengembangan kurikulum pada hakekatnya adalah pengembangan komponen-komponen yang membentuk sistem kurikulum itu sendiri serta pengembangan komponen pembelajaran. Dengan demikian maka pengembangan kurikulum memiliki dua sisi yang sama penting. Satu sisi sebagai pedoman yng kemudian membentuk kurikulum tertulis (written curriculum atau document curriculum) dan sisi kurikulum sebagai implementasi (curriculum implementation) yaitu sistem pembelajaran.
Proses pengembangan memiliki pengertian berbeda dengan perubahan dan pembinaan kurikulum. Perubahan kurikulum merupakan kegiatan atau proses yang disengaja manakala berdasarkan hasil evaluasi ada salah satu atau beberapa komponen yang harus diperbaiki atau diubah, sedangkan pembinaan adalah proses untuk mempertahankan dan menyempurnakan kurikulum yang sedang dilaksanakan. Dengan demikian pengembangan menunjuk pada proses merancang sedangkan pembinaan adalah implementasi dari hasil pengembangan.
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa pengembangan dan pembinaan kurikulum merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan, pengembangan dan implementasi merupakan dua sisi yang harus berjalan seiring sejalan. Makna kurikulum akan dapat dirasakan manakala diimplementasikan, implementasi akan semakin terarah manakala sesuai dengan kurikulum rencana, dan selanjutnya hasil implementasi tersebut selanjutnya akan memberikan masukan untuk penyempurnaan rancangan. Inilah hakekat pengembangan kurikulum yang selalu berputar, berjalan, dan membentuk suatu siklus.

Sunday, 18 December 2011

Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum

PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum memiliki dua sisi yang sama penting, yaitu kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai implementasi. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi merupakan realisasi dari dokumen dalam bentuk kegiatan pembelajaran di kelas. Keduanya merupakan dua hal yang tak terpisahkan, ada kurikulum berarti ada pembelajaran, dan sebaliknya ada pembelajaran ada kurikulum.
Implementasi kurikulum memerlukan seseorang yang berperan sebagai pelaksananya. Guru merupakan factor penting dalam implementasi kurikulum karena ia merupakan pelaksana kurikulum. Karena itu guru dituntut memiliki kemampuan untuk mengimplemntasikannya, tanpa itu Kurikulum tidak akan bermakna sebagai alat pendidikan, dan sebaliknya pembelajaran tidak akan efektif tanapa kurikulum sebagai pedoman. Dengan demikian guru menempati posisi kunci dalam implementasi kurikulum.
Selanjutnya dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak dalam tataran kelas. Murray Print (1993) mengemukakan peran guru dalam tingkatan tersebut sebagai berikut :

1.Implementer

Sebagai implementer, guru berperan untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Di sini guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum. Guru tidak memiliki kesempatan baik untuk menentukan isi kurikulum maupun menentukan target kurikulum. Peran guru hanya sebatas menjalankan kurikulum yang telah disusun. Peran ini pernah dilaksanakan di Indonesia yaitu sebelum reformasi, yaitu guru sebagai implementator kebijakan kurikulum yang disusun secara terpusat, dituangkan dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Dalam GBPP yang berbentuk matrik telah ditentukan dari mulai tujuan yang harus dicapai, materi pelajaran yang harus disampaikan, cara yang harus dilakukan, hingga alokasi waktu pelaksanaan.
Dalam pengembangan kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya bertanggung jawab dalam mengimplementasikan berbagai ketetntuan yang ada. Kurikulum bersifat seragam, sehingga apa yang dilakukan guru di Indonesia bagian timur sama dengan apa yang dilakukan guru di Indonesia bagian barat. Dengan terbatasnya peran guru di sini, maka kreatifitas guru dan inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran tidak berkembang. Guru tidak ada motivasi untuk melakukan berbagai pembaruan. Mengajar mereka anggap sebagai tugas rutin dan keseharian, dan bukan sebagai tugas profesional.

2.Adapter

Pada peran ini guru memiliki peran lebih dari sekedar pelaksana kurikulum, tetapi sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik dan dan kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Guru diberikan kewenangan untuk mnyesuaikan kurikuum dengan kebutuhan daerah ataupun karakteristik sekolah. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang sekarang dikembangkan di Indonesia, terdapat peran guru dalam fase ini, yaitu bahwa para perancang kurikulum hanya menentukan standar isi sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan waktunya, dan hal-hal teknis lainnya ditentukan oeh guru. Dengan demikian peran guru sebagai adapter lebih luas dibandingkan dengan peran sebagai implementer.

3.Developer

Dalam tingkat ini guru berperan sebagai pengembang kurikulum, guru memiliki kewenangan dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru tidak hanya bisa menentukan tujuan dan isi pelajaran yang akan disampaikan, tetapi bahkan dapat menentukan strategi apa yang harus dikembangkan dan system evaluasi apa yang akan digunakannya. Sebagai pengembang kurikulum guru sepenuhnya dapat menyusun kurikulum sesuai dengan karakteristik, misi dan visi sekolah/madrasah, serta sesuai dengan pengalaman belajar ayang diperlukan anak didik. Dalam KTSP peran ini dapat dilihat dalam pengembangan kurikulum muatan lokal. Dalam pengembangan kurikulum muatan lokal, sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan, karena itu kurikulum yang berkembang da;at berbeda antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan.

4.Researcher

Fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti kurikulum (curriculum researcher). Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas professional gurub yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dala mperan ini guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas program, strategi maupun model pembelajaran, termasuk mengumpulkan data tenatang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah satu metode yang dianjurkan dalam penelitian adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK), yakni metode peneitian yang berangkat dari masaah ayang dihadapi guru dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, PTK merupakan salah satu metode yang tidak hanya menambah wawasan guru dan menambah profesionalismenya, tetapi secara terus-menerus dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.

Saturday, 17 December 2011

Hubungan Kurikulum dan Pembelajaran

KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
Kurikulum adalah rencana tertulis berisi ide-ide dan gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh pengembang kurikulum. Rencana tersebut menjadi dokumen kurikulum yang selanjutnya membentuk suatu sistem kurikulum. Di dalamnya mencakup komponen-komponen yang saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lain. Seperti komponen tujuan, pengalaman belajar, strategi pencapaian tujuan, dan evaluasi.
Komponen-komponen kurikulum selanjutnya melahirkan sistem pengajaran, yang menjadi pedoman guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sistem pengajaran adalah pengembangan dari sistem kurikulum. Dari sistem pengajaran muncul tindakan-tindakan guru pada siswa, sehingga dapat dikatakan bahwa pengajaran adalah implementasi kurikulum. Implementasi tersebut akan memberikan masukan bagi proses pengembangan dan perbaikan kurikulum selanjutnya. Demikian selanjutnya, sehingga proses pengembagan kurikulum merupakan suatu siklus yang tanpa ujung.
Kurikulum dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak terpisahkan, meski berada pada posisi yang berbeda. Saylor (1981) mengemukakan bahwa kurikulum mengemukakan bahwa kurikulum dan pembelajaran bagaikan Romeo dan Juliet. Artinya bahwa berbicara tentang Romeo harus disertai dengan berbicara tentang Juliet. Romeo tidak akan berarti apa-apa tanpa Juliet dan demikian sebaliknya. Tanpa Kurikulum sebagai rencana, maka pembelajaran atau pengajaran tidak akan efektif, demikian juga sebaliknya tanpa pembelajaran dan pengajaran sebagai implementasi sebuah rencana, maka kurikulum tidak akan memiliki arti apa-apa.
Oliva (1992) menyatakan bahwa kurikulum berkaitan dengan apa yang harsus diajarkan, sedangkan pengajaran mengacu pada bagaimana cara mengajarkannya. Menurut Oliva kurikulum berhubungan dengan sebuah program, sebuah perencanaan, isi atau materi pelajaran serta pengalaman belaar, sedangkan pengajaran berkaitan dengan metode, tindakan mengajar, implementasi dan presentasi.
Peter F. Oliva (1992) menggambarkan kemungkinan hubungan antara kurikulum dengan pengajaran dalam beberapa model sebagai berikut :
1.Model dualistis (the dualistic model)
Pada model ini kurikulum dan pengajaran terpisah. Keduanyatidak bertemu. Kurikulum yang seharusnya menjadi imput dalam menata sistem pengajaran tidak tampak. Demikian juga pengajaran yang semestinya memberikan balikan dalam proses penyempurnaan kurikulum tidak terjadi, karena kurikulum dan pengajaran berjalan sendiri. Model ini digambarakan sebagai berikut :

Model 1
Model Dualistis

2.Model berkaitan (the interlocking model)
Dalam model ini kurikulum dan pengajaran dianggap sebagai suatu sistem yang keduanya memiliki hubungan. Kurikulum dan pengajaran maupun sebaliknya pengajaran dan kurikulum ada bagian yang berkaitan, sehingga keduanya memiliki hubungan. Digambarkan sebagai berikut :

Model 2
Model berkaitan

3.Model konsentris (the concentric model)
Pada model ini kurikulum dan pengajaran memiliki hubungan dengan kemungkinan kurikulum bagian dari pengajaran atau pengajaran bagian dari kurikulum. Di sini ada ketergantungan satu dengan yang lain. Model konsentris ini digambarkan sebagai berikut :

Model 3
Model berkaitan

4. Model Siklus (the ciclical model)

Model ini menggambarkan hubungan timbal balik antara kurikulum dan pengajaran. Keduanya dianggap saling mempengaruhi. Segala yang ditentukan dalam kurikulum akan menjadi dasar dalam proses pelaksanaan pengajaran. Sebaliknya yang terjadi dalam pengajaran dapat memengaruhi keputusan kurikulum selanjutnya. Dalam model ini hubungan keduanya sangat erat meski kedudukannya terpisah yang berarti dalam analisis juga terpisah. Digambarkan sebagai berikut :

Model 4
Model Siklus

Thursday, 15 December 2011

Peran dan Fungsi Kurikulum

Peran dan Fungsi Kurikulum

Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis mengemban peran sebagai berikut :
1. Peran Konservatif ,
Kurikulum memiliki tugas dan tanggung jawab mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda. Sekolah sebagai suatu lembaga sosial dituntut dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku para siswa dengan nilai- nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses sosial. Karena itu pendidikan pada hakekatnya berfungsi pula menjembatani antara siswa dengan orang dewasa di dalam proses pembudayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks, dan di sinilah peranan kurikulum turut membantu proses tersebut.
Melalui kurikulum siswa perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya, sehingga ketika kembali ke masyarakat, dapat menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut.
Peran ini penting bagi masyarakat, dikaitkan dengan cepatnya pengaruh budaya asing yang masuk sebagaikonsekuensi era globalisasi, yang dimungkinkan budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya lokal, akan semakin menggerogoti budaya asli. Dengan peran konservatif kurikulum berperan menangkal berbagai macam pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga identitas masyarakat dapat selalu terjaga dan terpelihara.
2. Peran Kreatif
Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti mencipta dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa yang akan datang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan dan keterampilan yang baru yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam peran kreatifnya, kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat yang dinamis.
Kurikulum yang tidak mengandung unsur-unsur baru, akan menghasilkan pendidikan yang ketinggalan zaman, sehingga berarti bahwa apa yang diberikan sekolah bagi siswa menjadi kurang bermakna, karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan sosial masyarakat.
3. Peranan Kritis / Evaluatif,
Kebudayaan senantiasa berubah dan sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai, memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan menekankan pada unsur berpikir kritis.
Kurikulum berperan menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu dimiliki anak didik.Nilai–nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan masa mendatang dihilangkan dan diadakan modifikasi dan perbaikan, sehingga kurikulum perlu mengadakan pilihan yang tepat atas dasar kriteria tertentu. Demikian juga sebaliknya nilai-nilai baru yang tidak sesuai dengan budaya setempat mungkin akan ditolak dan tidak dipakai, atau dipakai dengan diwarnai nilai-nilai lokal, sehingga menjadi nilai-nilai yang dapat diterima masyarakat setempat.
Pengembangan kurikulum harus memperhatikan ketiga peran tersebut, karena ketiganya harus berjalan seimbang. Kurikulum yang menonjolkan peran konservatifnya akan cenderung membuat pendidikan ketinggalan zaman, sebaliknya kurikulum yang menonjolkan peran kreatifnya, dapat membuat nilai-nilai budaya lokal hilang.
Fungsi Kurikulum.
Secara umum fungsi kurikulum adalah sebagai alat untuk membantu peserta didik untuk mengembangkan pribadinya ke arah tujuan pendidikan. Kurikulum adalah segala aspek yang mempengaruhi peserta didik di sekolah, termasuk guru dan sarana serta prasarana lainnya. Kurikulum sebagai program belajar bagi siswa, disusun secara sistematis dan logis , diberikan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Mc. Neil (1990) isi kurikulum memiliki empat fungsi yaitu :
a).Fungsi pendidikan umum (common and general education)
Merupakan fungsi untuk mempersiapkan anak didik agar menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab , menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Karena itu kurikulum harus memberikan pengalaman belajar kepada anak didik agar mampu menginternalisaasi nili-nilai dalam masyarakat, memahami hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat dan makhluk sosial, Fungsi ini harus ada dan diikuti setiap siswa di semua jenis dan jenjang pendidikan.
b).Fungsi Suplementasi (supplementation)
Kurikulum harus dapat memberikan pelayanan kepada setiap siswa sesuai dengan perbedaan kemampuan, minat, maupun bakat yang ada pada diri masing-masing siswa. Setiap siswa berhak menambah wawasan yang lebih baik sesuai dengan minat dan bakatnya. Siswa yang meiliki kemapuan di atas rata-rata haraus terlayani sehingga dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal, sebaliknya siswa berkemampuan di bawah rata-rata juga harus terlayani sesuai dengan kemampuannya.
c) Fungsi Eksplorasi (exploration)
Kurikulum harus dapat menemukan dan mengembangkan minat dan bakat masing-masing anak didik, sehingga diharapkan anak didik dapat belajar sesuai dengan minat dan bakatnya tanpa ada paksaan. Fungsi ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah, karena terkadang berlawanan dengan kenyataan, bahwa sering ada pemaksaan dari pihak-pihak tertentu, seperti orangtua, untuk memilih suatu pilihan yang sebenarnya tidak sesuai dengan minat dan bakat siswa. Para pengembang kurikulum harus dapat menggali bakat dan minat anak didik yang terkadang tersembunyi.
d) Fungsi keahlian (specialization)
Kurikulum berfungsi untuk mengembangkan kemampuan anak didik dengan keahliannya yang didasarkan atas minat dan bakat anak didik. Kurikulum harus dapat memberikan pilihan berbagai bidang keahlian, seperti perdagangan, pertanian, industri atau disiplin akademik. Dengan bidang-bidang pilihan tersebut anak didik diharapkan memiliki keterampilan sesuai dengan bidangnya. Untuk itu dalam pengembangan kurikulum perlu melibatkan para ahli atau spesialis untuk menentukan kemampuan yang harus dimiliki anak didik yang sesuai dengan bidang keahliannya.
Alexander Inglis, mengemukakan fungsi kurikulum meliputi :
a).Fungsi Penyesuaian,
Lingkungan tempat Individu hidup senantiasa berubah dan dinamis, karena itu setiap individu harus mampu menyesuaikan diri secara dinamis. Kurikulum berfungsi sebagai alat pendidikan menuju individu yang well adjusted, yang membekali anak didik dengan kemampuan-kemampuan sehingga setelah selesai pendidikan, diharapkan dapat membawa dirinya untuk berperilaku sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat, maupun dengan lingkungan yang lain.
b).Fungsi Integrasi,
Kurikulum berfungsi mendidik pribadi-pribadi yang terintegrasi. Individu merupakan bagian integral dari masyarakat, maka dengan pembentukan pribadi-pribadi yang terintegrasi, akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.
c).Fungsi Deferensiasi,
Kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada dasarnya deferensiasi akan mendorong orang berpikir kritis dan kreatif, dan ini akan mendorong kemajuan sosial dalam masyarakat.
d).Fungsi Persiapan,
Kurikulum berfungsi mempersiapkan siswa agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk jangkauan yang lebih jauh atau terjun ke masyarakat. Sekolah tidak mungkin memberikan semua apa yang diperlukan atau semua apa yang menarik minat mereka, tetapi melalui kurikulum harus dapat memberikan kemampuan yang diperlukan anak didik untuk melanjutkan studinya ataupun mencari pekerjaan.
e).Fungsi Pemilihan,
Antara perbedaan dan pemilihan mempunyai hubungan yang erat. Pengakuan atas perbedaan berarti pula diberikan kesempatan bagi seseorang untuk memilih apa yang dinginkan atas sesuatu yang menarik minatnya. Ini merupakan kebutuhan yang sangat ideal bagi masyarakat yang demokratis, sehingga kurikulum perlu diprogram secara fleksibel, memberikan kesempatan pada semua anak didik untuk memperoleh pendidikan sesuai pilihannya berdasarkan minat dan bakatnya.
f).Fungsi Diagnostik,
Salah satu segi pelayanan pendidikan adalah membantu dan mengarahkan para siswa agar mereka mampu memahami dan menerima dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimiliki. Ini dapat dilakukan bila mereka menyadari semua kelemahan dan kekuatan yang dimiliki melalui eksplorasi dan prognosa. Di sini Fungsi kurikulum adalah mendiagnosa dan membimbing anak didik agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal.

Sunday, 11 December 2011

Pengertian Kurikulum

PENGERTIAN KURIKULUM

Istilah Kurikulum kali pertama digunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani kuno. Kurikulum berasal dari kata Curir dan Curere. Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang ditempuh oleh seorang pelari. Orang mengistilahkan dengan tempat berpacu atau tempat berlari dari start sampai finish.
Pada perkembangannya kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan. Penafsiran para ahli pendidikan berbeda-beda tentang kurikulum. Namun dalam perbedaan tersebut, terdapat juga kesamaan, yaitu bahwa kurikulum berhubungan erat dengan usaha mengembangkan anak didik sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Murray Print(1993) mengemukakan pendapatnya bahwa kurikulum mencakup :
1. Planned learning experiences;
2. Offered within an educational institution/program;
3. Represented as a document; and
4. Includes experiences resulting from implementing that document.
Ia berpendapat bahwa kurikulum meliputi perencanaan pengalaman belajar atau program sebuah lembaga pendidikan yang diwujudkan dalam sebuah dokumen termasuk pengalaman belajar yang dihasilkan dari implementasi dokumen tersebut.
Secara konseptual, kurikulum memiliki tiga dimensi pengertian yaitu sebagai mata pelajaran, sebagai pengalaman belajar, dan sebagai perencanaan program pembelajaran.
1. Kurikulum sebagai Mata Pelajaran
Tokoh yang berpendapat bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran adalah Robert M Hutchins (1936) yang menyatakan “The curriculum should include grammar, reading, rethoric, and logic, and mathematic, and addition at the secondary level introduce the great books of the western world”. Pengertian kurikulum sebagai mata pelajaran yang harus ditempuh oleh anak didik merupakan konsep yang saat ini banyak mewarnai teori-teori dan praktek pendidikan (Saylor, Alexander, & Lewis, 1981)
Dalam konsep ini kurikulum berkaitan erat dengan usaha untuk memperoleh ijazah. Ijazah sendiri menggambarkan kemampuan, yang artinya bahwa ketika anak didik memperoleh ijazah berarti ia telah menguasai mata pelajaran yang diajarkan sesuai dengan kurikulum. Kurikulum berorientasi kepada isi atau materi pelajaran (content oriented). Penguasaan isi pelajaran merupakan sasaran akhir proses pendidikan. Untuk evaluasi hasil belajar dilaksanakan tes hasil belajar.
Selanjutnya yang dipelajari dalam setiap mata pelajaran adalah ilmu pengetahuan sesuai dengan nama setiap mata pelajaran. Sebagai contoh : IPS maka pada dasarnya anak mempelajari ilmu pengetahuan tentang ilmu sosial, Pendidikan Agama maka berarti anak didik mempelajari ilmu pengetahuan tentang ilmu Agama. Dengan kata lain dalam konsep ini kurikulum pada hakekatnya adalah berisikan bidang studi.
Pandangan kurikulum sebagai mata pelajaran merupakan pandangan yang dianggap tradisional, namun sebenarnya masih banyak dianut dan mewarnai kurikulum di era modern saat ini.
2. Kurikulum sebagai Pengalaman Belajar Siswa
Pergeseran paradigma mengenai kurikulum dari kurikulum sebagai mata pelajaran ke kurikulum sebagai pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sangat cepat. Perkembangan IPTEK memberikan dampak pada aspek kehidupan yang lain termasuk aspek pendidikan khususnya fungsi sekolah sebagai institusi pendidikan. Seiring dengan Perkembangan di semua aspek kehidupan, muncul berbagai macam kebutuhan hidup, karena itu beban sekolah pun menjadi bertambah. Sekolah tidak hanya dituntut membekali anak didik dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga dituntut mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral kepribadian, bahkan dituntut untuk dapat membekali anak didik dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan. Selain itu dipengaruhi juga oleh penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru dalam psikologi belajar, yang berpandangan bahwa belajar bukan merupakan kegiatan mengumpulkan pengetahuan, tetapi proses perubahan perilaku siswa, sehingga siswa belajar manakala memiliki perubahan perilaku. Dalam konsep ini pengalaman dianggap lebih penting dari pada sekedar menumpuk pengetahuan.
Menurut konsep ini kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan anak didik baik di dalam maupun di luar sekolah, dengan batasan kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru (sekolah). Segala yang dilakukan siswa yang berada di bawah bimbingan guru adalah termasuk kurikulum. Contoh: tugas kelompok yang dilakukan di luar jam sekolah, atau dikerjakan di rumah, merupakan kurikulum karena tugas tersebut memang diberikan oleh guru dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diprogramkan sekolah.
Tokoh-tokoh yang berpandangan demikian antara lain adalah
a. Hollis L. Caswell dan Campbell (1935) yang menyatakan kurikulum sebagai”...all of experiences children have under guidance of Teacher”,
b. Dorris Lee dan Murray Lee (1940) ”..those experiences of the child which the school in any way utilizes or attempts to influence”,
c. H.H. Giles, S.P.McCutchen,dan A.N. Zechief “...the curriculum...the total experience with which the school deals in educating young people”.
d. Romine (1945) “curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experieces which pupils have under direction of the school, wether in the classroom or not”
e. Harold Alberty (1965) “all of the activities that are provided for the students by the school”
f. Saylor dan Alexander (1956), “the curriculum is the sum total of school’s efforts to influence learning, wether in the classroom, on the playground, or out of school”
Bagi tokoh-tokoh tersebut kurikulum tidak hanya mata pelajaran yang harus dipelajari, tetapi termasuk semua usaha sekolah untuk mempengaruhi siswa belajar baik di dalam maupun di luar kelas bahkan di luar sekolah.
3. Kurikulum sebagai Program atau Rencana Belajar
Pandangan ini berkembang sebagai respon terhadap konsep kurikulum sebagai pengalaman belajar. Berangkat dari pandangan bahwa jika kurikulum sebagai pengalaman belajar, akan sulit untuk menentukan dan mengukur pengalaman belajar tersebut. Hal ini karena segala bentuk perilaku siswa merupakan hasil dari pengalaman yang tidak mungkin dapat dikontrol guru, karena itu, konsep kurikulum sebagai pengalaman dianggap beberapa ahli sebagai konsep yang luas, sehingga makna kurikulum menjadi kabur dan tidak fungsional.
Dalam konsep kurikulum sebagai rencana, kurikulum dinyatakan sebagai perencanaan yang berisi tentang petunjuk belajar serta hasil yang diharapkan. Tokoh yang berpendapat bahwa kurikulum merupakan program atau rencana belajar yang disusun oleh sekolah atau lembaga pendidikan adalah :
a. Hilda Taba (1962)a “A Curriculum is a plan for learning : therefore, what is known about the learning process and development of the individual has bearing on the shaping of a curriculum”
b. Daniel Tanner dan Laura Tanner (1975) menyatakan kurikulum sebagai “...the planned and guided learning experiences and intended learning outcomes, formulated through the systematic reconstruction of knowledge and experiences under auspices of the school, for the learner’s continous and willful growth in personal social competence”
c. Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982) yang menyatakan kurikulum adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan sekolah.

Dari ketiga konsep tersebut, Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang merupakan acuan dalam penyelenggaraan pendidikan, tampak sejalan dengan konsep yang ketiga yaitu kurikulum sebagai rencana belajar. Kurikulum dinyatakan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Batasan dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa kurikulum memiliki dua aspek. Pertama, sebagai rencana yang harus dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru. Kedua, sebagai pengaturan isi dan cara pelaksanaan rencana itu yang keduanya digunakan sebagai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Sementara itu Zais (1976) menyatakan bahwa ketika mengevaluasi sebuah kurikulum, tentu tidak hanya mengevaluasi rencana saja, tetapi juga mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kurikulum tertulis itu pada peserta didik. Oleh karena itu kurikulum tidak hanya menyangkur rencana saja tetapi juga menyangkut pelaksanaan rencana tersebut. Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan Murray Print (1993) bahawa “curriculum is defined as all the planned learning opportunities offered to learner by the educational institution and the experiences learners encounter when the curriculum is implemented”. Dengan demikian kurikulum harus mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta bagaimana perencanaan itu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa dalam rangka pencapaian tujuan yang diharapkan.
Dari konsep-konsep tersebut Sanjaya (2008) menyatakan bahwa kurikulum diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi, dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasitentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata. Sehingga pengembangan kurikulum berarti meliputi penyusunan, dokumen, implementasi dokumen, serta evaluasi dokumen dan implementasinya yang telah disusun.

Artikel terkait :
Peran dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum dan Pengajaran
Peran Guru dalam pengembangan Kurikulum